Sebenarnya urusan agama adalah hal yang sangat privasi. Sebab itu cuma persoalan yang pastinya cuma diketahui siapa yang beragama dan siapa yang ia sembah. Namun tahun politik bikin persoalan ini tidak lagi menjadi urusan privasi lagi.
Terlepas setuju atau tidak setuju dengan fakta itu, namun ini memang sudah menjadi realitas di tahun politik. Satu pihak menyorot keagamaan pihak lain, dan sebaliknya. Mau bilang apa?
Bahwa ada saja yang mencoba mencibir pemandangan itu hingga mengkritiknya, juga sah-sah saja. Namun takkan serta merta bisa mengurangi tren itu terjadi. Sebab, sudah ada yang memantik supaya itu terjadi, bertahan, hingga menular dan menjalar ke mana-mana.
Tidak perlu kita sebut siapa yang mengawalinya. Sebab pemberitaan seputar bagaimana agama dipermainkan untuk politik memang bukan cerita baru. Kalaupun ada yang baru hanya bagaimana pengaruh isu agama membawa keuntungan terhadap kekuatan politik.
Apa yang baru terjadi di Jakarta belakangan ini, munculnya Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai duo pemimpin "Kampung Besar", cukup menjadi bukti teranyar dari kuatnya efek isu agama. Lagi, kita mau bilang apa?
Terbaru, Prabowo Subianto sebagai salah satu calon presiden dapat giliran dari sasaran pertanyaan seputar agamanya. Biasanya ia nyaris tidak diusik, akhirnya mulai terlihat terusik dengan narasi beraroma agama tersebut.Â
Sebelumnya, dapat dikatakan cuma Joko Widodo paling kencang jadi sasaran isu-isu berhubungan agama. Bahkan ada yang menuding dirinya berasal dari keluarga yang jauh dari agama. Sampai kemudian pelan-pelan ia mampu menunjukkan bagaimana kedekatan keluarganya dengan agama.
Sebut saja, Jokowi sering kedapatan berada di masjid, berkunjung ke berbagai masjid tiap kali mengadakan kunjungan kerja, dan salat hingga di tenda-tenda pengungsi ketika ia hadir ke lokasi bencana.Â
Selain itu, keluarga Jokowi pun terbukti memang sangat kental dengan Islam. Ibunda petahana tersebut pun diketahui adalah seorang perempuan yang sangat gemar melakukan tahajud, di luar kewajiban agama lainnya yang juga rutin ia lakukan. Pun adik-adik Jokowi yang seluruhnya perempuan pun, terbukti sebagai muslimah, dan bahkan terbilang sangat kuat dalam menjalani nilai keislaman mereka. Tidak cuma bahwa mereka berjilbab dan sejenisnya, namun tingkah laku mereka pun selama ini terbukti islami. Paling tidak, dari sisi akhlak yang acap dijadikan indikator keberislaman seseorang, mampu mereka perlihatkan secara sempurna.Â
Namun itu memang tidak serta merta mampu menyurutkan berbagai macam tudingan terhadap Jokowi, terlepas dari keluarga dan kerabatnya terbukti sebagai penganut Islam taat. Ada saja yang tetap memainkan isu yang mengarahkan pada sudut pandang yang mengoyak-ngoyak citra keislaman keluarganya.
Ironisnya, jika dikaitkan dengan Prabowo, adalah kedekatannya dengan Kristen karena memang berasal dari keluarga beragama tersebut, namun terkesan menutupi latar belakang itu.Â
Kalau dikulik lebih jauh, kenapa muncul tagar-tagar seperti #PrabowoJumatanDiMana atau #PrabowoKebaktianDiMana yang sempat mewarnai media sosial, tak lepas dari fakta terkait Prabowo sendiri. Sebab selama ini memang ia terkesan sangat merahasiakan agamanya.
Pertanyaannya, apa perlunya merahasiakan agama?Â
Ini mungkin menjadi pertanyaan banyak orang, dan bisa jadi tagar-tagar seperti #PrabowoJumatanDiMana dan #PrabowoKebaktianDiMana, lahir tidak melulu berasal dari pendukung lawannya. Sebab sebagai calon pemimpin, latar belakang dan rekam jejaknya dipastikan mengundang penasaran banyak orang. Sebab tagar seperti disebutkan itu, cenderung terlihat sebagai cara untuk membahasakan sebuat pertanyaan, Prabowo ini sebenarnya Islam atau Kristen, sih?
Kalau menyimak di media sosial, pergulatan tanda tanya itu tidak jauh-jauh dari bagaimana mengetahui agamanya? Bagaimana memastikan ketaatannya kepada agama? Maka itu, tagar tadi, bisa jadi, dipandang sebagai salah satu cara saja untuk memastikan hal itu. Sebab, kalau menyebut ia sebagai Muslim, masih sangat remang-remang apakah ia bisa melakukan ritual-ritual lazim dalam Islam atau tidak?Â
Di antara hal yang sangat sering diungkit-ungkit di media sosial tersebut adalah fakta bahwa ada kecenderungan Prabowo gagap dalam menunjukkan bukti-bukti meyakinkan bahwa ia adalah seorang Muslim. Ia tidak mampu melafalkan, sebagai contoh sederhana, semisal lafal "Allah" dan ini kerap jadi sorotan.Â
Bahkan dengan gampang juga ditemukan bagaimana ucapan "hulaihi" yang merupakan kekeliruan yang pernah dilakukannya, belakangan jadi parodi atau guyonan di berbagai media sosial.Â
Tidak itu saja, tetapi beberapa foto yang menunjukkan bagaimana gerakannya saat melakukan salat pun dinilai janggal oleh sebagian warganet. Ia dinilai masih sangat asing dengan gerakan yang ada dalam salat. Sementara salat, dalam Rukun Islam, adalah perintah wajib setelah syahadat dalam.
Belum lagi dengan menyeruaknya kabar undangan tes mengaji yang sempat muncul dari Aceh. Saat Jokowi dan Kyai Ma'ruf Amin dengan enteng mengiyakan, sebaliknya pihak pendukung Prabowo-Sandiaga Uno terlihat berupaya keras untuk menolaknya.Â
Bahkan sekadar untuk menolak undangan tes membaca Alquran saja, mereka harus menggunakan dalih bahwa aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mewajibkan itu sebagai aturan. Bahkan mereka sempat menegaskan bahwa undangan itu baru dipenuhi jika kewajiban membaca Alquran sudah ditetapkan sebagai peraturan KPU.Â
Namun, sekali lagi, itu lebih terlihat sebagai dalih saja. Kenapa? Sebab bagi seorang Muslim, urusan membaca Alquran bukanlah sesuatu yang menuntut harus adanya sebuah aturan negara lebih dulu. Tanpa dilihat oleh siapa saja, bahkan di rumah pun, sebagian besar Muslim taat akan menjadikan kebiasaan membaca Alquran sebagai sebuah bagian tak terpisahkan. Biasanya dilakukan selepas Magrib atau sehabis Subuh.
Bahkan, ketika diajak untuk membaca Alquran bersama-sama, semisal di acara kematian atau acara-acara tertentu, ketika dipercayakan untuk membaca Alquran dirasa sebagai sebuah kehormatan. Seorang Muslim akan merasa sangat terhormat ketika dipercayakan untuk membacakan Alquran.Â
Sayangnya, selama ini, untuk membendung hingga menangkal narasi-narasi berbau undangan membaca Alquran, para pendukung Prabowo terkesan mencari seribu satu macam alasan. Mereka tidak peduli, apakah alasan itu diterima oleh akal sehat atau tidak. Sebab mereka cukup percaya diri karena selama ini terbilang berhasil membungkus diri dengan branding sebagai duet capres-cawapres pilihan ulama. Persoalan apakah buah dari pekerjaan ulama untuk membuat seorang Muslim tahu, akrab, dan terbiasa dengan kebiasaan khas sebagai orang Islam, tampaknya tak terlalu dipusingkan.Â
Apa yang memusingkan mereka, terlihat, cuma jika narasi yang beraroma undangan membaca Alquran berkembang dan bahkan viral. Sebab untuk menjawab ini, mereka harus mencari berbagai jurus supaya dapat meredamnya.
Sebenarnya itu bukan sesuatu yang perlu diredam. Jika memang mampu membaca Alquran, tinggal ditunjukkan saja, setidaknya untuk dapat menjawab sekaligus menegaskan benar tidaknya pernyataan yang marak menyebutkan mereka masih sangat asing dengan kitab suci umat Muslim tersebut.Â
Sementara jika memang tidak mampu, pun akan disambut dengan positif. Sebab jika melihat secara fakta umum pun, di Indonesia terbukti sebagian besar memang tidak mampu membaca Alquran.Â
Itu juga terungkap dalam sebuah seminar yang berlangsung di Bandung, 13 Desember 2018 lalu. Di acara seminar diadakan Bappeda Kabupaten Bandung dengan Universitas Islam Sunan Gunung Djati, terungkap hasil penelitian bahwa ada 54 persen dari 225 juta penganut Islam di Indonesia tidak mampu membaca Alquran.Â
Siapa tahu, dengan keterusterangan pasangan tersebut, bisa memacu sekaligus memicu umat Muslim yang masih terasing dengan Alquran terdorong untuk dekat dengan kitab suci tersebut.
Di samping, paling tidak dapat terlihat, bahwa mereka memang punya keinginan untuk lebih dekat dengan Alquran, dan ingin menjadikan aktivitas membaca Alquran sebagai kebiasaan. Sebab dengan mengaku tidak mampu, mereka akan diakui sebagai figur-figur yang memang jujur dan mau tampil secara asli, tanpa ada yang ditutup-tutupi.Â
Ringkasnya, jika seorang Muslim tidak mampu membaca Alquran takkan lantas dicaci atau dimaki. Melainkan akan dirangkul dan diajak untuk dapat membaca dan mengakrabi kitab suci ini. Terlebih lagi, bagi setiap Muslim, Alquran sendiri adalah "Al Furqan" atau sebagai pembeda yang baik dan benar. Jadi acuan untuk seorang Muslim betul-betul memiliki panduan bagaimana ia memimpin dirinya, memimpin keluarganya, hingga memimpin masyarakatnya.Â
Di sisi ini, tidak bermaksud melebih-lebihkan, Jokowi dan Kyai Ma'ruf memiliki keunggulan karena menguasainya dengan cukup baik. Kebetulan, saya pribadi pernah mengikuti salat dengan diimami oleh Presiden Jokowi sendiri, dan bisa melihat sekaligus mendengar--terlepas masih medhok karena lidah Jawanya--namun memiliki penguasaan cukup baik dalam membaca ayat-ayat Alquran.Â
Jadi, terkait tagar-tagar seperti #PrabowoJumatanDiMana atau #PrabowoKebaktianDiMana hingga undangan membaca Alquran, semestinya pihak pendukung capres kosong dua tersebut tidak perlu denial atau berusaha menampiknya.Â
Tidak perlu juga menuding potret itu dengan negatif, sebab keakraban dengan rumah ibadah yang jelas dan juga kedekatan dengan kitab suci, dapat menjadi penguat bukti sedalam mana seseorang dekat dengan Tuhan dan nilai-nilai-Nya. Selain, juga membuktikan sedalam mana seseorang memahami petunjuk agama.
Berusaha habis-habisan menutupi bagaimana fakta dan realita sebenarnya, hanya untuk sebuah kepentingan politik, takkan menjamin hasil yang baik. Sebab lazimnya, semakin sesuatu ditutupi, maka semakin membuat orang curiga kenapa hal itu ditutupi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H