Sayangnya, selama ini, untuk membendung hingga menangkal narasi-narasi berbau undangan membaca Alquran, para pendukung Prabowo terkesan mencari seribu satu macam alasan. Mereka tidak peduli, apakah alasan itu diterima oleh akal sehat atau tidak. Sebab mereka cukup percaya diri karena selama ini terbilang berhasil membungkus diri dengan branding sebagai duet capres-cawapres pilihan ulama. Persoalan apakah buah dari pekerjaan ulama untuk membuat seorang Muslim tahu, akrab, dan terbiasa dengan kebiasaan khas sebagai orang Islam, tampaknya tak terlalu dipusingkan.Â
Apa yang memusingkan mereka, terlihat, cuma jika narasi yang beraroma undangan membaca Alquran berkembang dan bahkan viral. Sebab untuk menjawab ini, mereka harus mencari berbagai jurus supaya dapat meredamnya.
Sebenarnya itu bukan sesuatu yang perlu diredam. Jika memang mampu membaca Alquran, tinggal ditunjukkan saja, setidaknya untuk dapat menjawab sekaligus menegaskan benar tidaknya pernyataan yang marak menyebutkan mereka masih sangat asing dengan kitab suci umat Muslim tersebut.Â
Sementara jika memang tidak mampu, pun akan disambut dengan positif. Sebab jika melihat secara fakta umum pun, di Indonesia terbukti sebagian besar memang tidak mampu membaca Alquran.Â
Itu juga terungkap dalam sebuah seminar yang berlangsung di Bandung, 13 Desember 2018 lalu. Di acara seminar diadakan Bappeda Kabupaten Bandung dengan Universitas Islam Sunan Gunung Djati, terungkap hasil penelitian bahwa ada 54 persen dari 225 juta penganut Islam di Indonesia tidak mampu membaca Alquran.Â
Siapa tahu, dengan keterusterangan pasangan tersebut, bisa memacu sekaligus memicu umat Muslim yang masih terasing dengan Alquran terdorong untuk dekat dengan kitab suci tersebut.
Di samping, paling tidak dapat terlihat, bahwa mereka memang punya keinginan untuk lebih dekat dengan Alquran, dan ingin menjadikan aktivitas membaca Alquran sebagai kebiasaan. Sebab dengan mengaku tidak mampu, mereka akan diakui sebagai figur-figur yang memang jujur dan mau tampil secara asli, tanpa ada yang ditutup-tutupi.Â
Ringkasnya, jika seorang Muslim tidak mampu membaca Alquran takkan lantas dicaci atau dimaki. Melainkan akan dirangkul dan diajak untuk dapat membaca dan mengakrabi kitab suci ini. Terlebih lagi, bagi setiap Muslim, Alquran sendiri adalah "Al Furqan" atau sebagai pembeda yang baik dan benar. Jadi acuan untuk seorang Muslim betul-betul memiliki panduan bagaimana ia memimpin dirinya, memimpin keluarganya, hingga memimpin masyarakatnya.Â
Di sisi ini, tidak bermaksud melebih-lebihkan, Jokowi dan Kyai Ma'ruf memiliki keunggulan karena menguasainya dengan cukup baik. Kebetulan, saya pribadi pernah mengikuti salat dengan diimami oleh Presiden Jokowi sendiri, dan bisa melihat sekaligus mendengar--terlepas masih medhok karena lidah Jawanya--namun memiliki penguasaan cukup baik dalam membaca ayat-ayat Alquran.Â
Jadi, terkait tagar-tagar seperti #PrabowoJumatanDiMana atau #PrabowoKebaktianDiMana hingga undangan membaca Alquran, semestinya pihak pendukung capres kosong dua tersebut tidak perlu denial atau berusaha menampiknya.Â
Tidak perlu juga menuding potret itu dengan negatif, sebab keakraban dengan rumah ibadah yang jelas dan juga kedekatan dengan kitab suci, dapat menjadi penguat bukti sedalam mana seseorang dekat dengan Tuhan dan nilai-nilai-Nya. Selain, juga membuktikan sedalam mana seseorang memahami petunjuk agama.