Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bukan Cerita Film Cameron Diaz

4 Februari 2019   22:17 Diperbarui: 6 Februari 2019   00:15 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian film Sweetest Thing yang mencibir sekaligus mengajak berpikir - Foto: Empireonline.com

"I'm gone for one day, the place turns into Indonesia," sederet kalimat ini bisa jadi bukanlah kalimat asing bagi sebagian pecinta film. Pasalnya, inilah kalimat yang juga mengisi salah satu scene film The Sweetest Thing (2002). 

Mudah dibaca ke mana arah dari salah satu dialog yang mengisi film yang dibintangi Cameron Diaz tersebut. Sedikitnya, ada semacam gambaran bahwa seperti itulah Indonesia; seperti sebuah rumah berantakan. 

Ya, meski hanya melalui satu kalimat, paling tidak sudah memperlihatkan bagaimana masyarakat di luar negeri melihat negeri ini; berantakan, acakadut, suka-suka, dan berbagai citra sejenisnya. Paling tidak, citra begitulah yang pernah ada di era film berdurasi 90 menit dirilis.

Katakanlah itu masa lalu. Sebab masa itu Indonesia sendiri masih berusaha mencari wajah baru tentang bagaimana mempermak diri setelah tumbangnya sebuah rezim terkuat yang pernah ada sepanjang negeri ini berdiri, Orde Baru.

Mau tak mau, meskipun ada sebagian orang mengelu-elukan rezim yang bertahan lebih dari tiga dekade itu, namun ada banyak hal negatif yang juga tumbuh subur di masa itu. Banyak hal berantakan, entah karena masih gampangnya bermain "di bawah meja", dan gampang juga untuk bertingkah suka-suka sepanjang berada di lingkaran kekuasaan. 

Ya, berantakan. Sebab kekuasaan di masa itu ibarat "tuhan" yang bisa menentukan segalanya, termasuk urusan siapa yang masih pantas hidup dan siapa yang tidak pantas lagi melanjutkan hidup. Jika ada yang nekat menentang atau menantang, bisa-bisa nyawa melayang. 

Berharap kepada pengadilan untuk bisa memberikan keadilan, sulit atau bahkan mustahil. Apalagi ketika berhadapan antara rakyat jelata dengan kekuasaan. Bahkan sempat santer kabar bagaimana "orang dalam" rezim tersebut bisa menembak kepala seorang pelayan restoran, cuma karena gusar.

Kalau dibilang berantakan, begitulah gambaran seperti apa berantakannya yang lahir karena kekuasaan yang begitu jauh bekerja, hingga bisa menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas untuk hidup.

Pemandangan itu berkelebat lagi di pikiran saya ketika belakangan menyimak bagaimana oposisi berlagak sebagai penguasa. Sangat mewakili mental berantakan yang pernah dipamerkan di masa lalu. 

Lihat saja bagaimana ketika beberapa figur kunci oposisi harus meringkuk di penjara, sebagai pertanggungjawaban mereka atas kesalahan yang sengaja mereka pamerkan di depan publik. Berteriak, meronta, dan menghujani celaan terhadap pengadilan. Itulah yang mereka pamerkan. Ada kesan, seharusnya mereka ditempatkan di atas pengadilan itu sendiri. Mirip gaya penguasa masa lalu, namun hari ini dilakoni oleh mereka yang berbusung dada sebagai oposisi.

Berbeda ketika figur-figur yang harus berurusan dengan hukum adalah orang-orang yang dinilai berada di lingkaran penguasa hari ini, mereka yang berdiri sebagai oposisi bersorak-sorai, dan melihatnya tak ubahnya sebuah pesta yang sudah semestinya dipenuhi tawa bahagia. 

Janggal. 

Ketika rezim memilih sikap moderat dan terbilang longgar dalam memanfaatkan tangan kekuasaan, dalam arti tidak main gebuk seperti di masa lalu, justru semakin ke sini justru oposisi yang semakin menunjukkan kepongahannya.

Satu sisi ini positif, karena penguasa tidak lagi semena-mena seperti di masa lalu. Namun ketika sikap semena-mena justru dipertontonkan oposisi, akhirnya sama saja. 

Oposisi hari ini bisa dengan mudahnya menjatuhkan orang hanya karena berbeda agama (ingat kasus Basuki Tjahaja Purnama). Oposisi pun bisa dengan gampangnya menghasut banyak orang dengan isu-isu agama, dan ini sudah dipamerkan dengan bagaimana mereka mengorganisasikan kekuatan yang berasal dari sentimen agama. 

Ada kelonggaran diberikan rezim supaya oposisi bisa lebih leluasa berekspresi. Namun justru oposisi yang kini semena-mena. Ironis.

Belum lama, beredar sebuah video Lius Sungkarisma, yang ingin menjenguk salah satu pemusik yang harus berurusan dengan penjara. Ia datang di luar waktu bezuk yang ditetapkan. Semena-mena membentak petugas, dan pengiringnya merekam untuk memamerkan kepada publik.

Padahal jelas, yang menunjukkan sikap semena-mena adalah mereka yang ingin menabrak aturan yang telah ditetapkan pihak berwenang. Namun, dengan "gaya kekinian" mereka merekam itu, dan meramaikannya di media massa. 

Atau, belum lama juga terjadi, bagaimana ketika salah satu kementerian mengadakan lomba desain. Sang menteri memanggil pegawainya untuk memilih salah satu dari dua gambar tersebut. Apa yang terjadi, pegawai ini menjawab seolah sedang memilih calon presiden. 

Lebih jauh, justru sang menteri tadi yang dihujat publik karena pelintiran yang dilakukan pegawainya sendiri. Sedangkan pegawai yang terlibat dalam pelintiran ini tak mendapatkan tindakan semestinya, meski apa yang dilakukannya justru mempermalukan institusi di mana ia sendiri bekerja. 

Sang menteri harus menahan malu karena hasil pelintiran yang belakangan gencar dilemparkan oposisi ke muka publik. Ia pun harus bekerja keras untuk dapat memulihkan nama baik. Di sini, kalangan oposisi tertawa bahagia, karena pemerintah memilih tidak memainkan tangan besi. Menteri ini harus menahan diri untuk tidak membalas, ketika "pisau" mematikan justru ditikam ke jantungnya oleh pegawainya sendiri. 

Sekilas ini dapat dimaklumi. Beginilah hasil dari sebuah pergumulan politik, dan seperti inilah wajah politik yang bebas. Siapa saja bebas berdiri di mana saja. Siapa saja bebas untuk mendukung siapa saja. Namun akhirnya memamerkan ironi-ironi yang juga bikin masygul, sebab efek narasi hingga propaganda justru mampu membawa pengaruh yang dapat "membunuh" pemerintahan dari dalam.

Persoalannya, ketika perjalanan sudah diatur, ke mana tujuan dan arah dari sebuah perjalanan sudah ditentukan, kondektur yang belum pernah duduk di belakang setir pun merasa lebih paham segalanya daripada siapa di balik setir. Alih-alih membantu perjalanan, para kondektur pun lebih banyak menunjukkan hasrat membantai sopirnya sendiri.

Sejauh ini, sopirnya terlihat masih bisa fokus membawa "kendaraan" di tangannya menuju tujuan direncanakan. Namun masih ada saja yang mengusik perjalanan, hingga berujung kegaduhan di dalam kendaraan itu sendiri. 

Ketika perjalanan tersendat, kendaraan tidak berjalan semestinya gara-gara keributan tanpa henti dari orang-orang di dalam kendaraan itu sendiri, lalu yang jadi penumpang hanya melempar kesalahan, lha piye? Mbuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun