Janggal.Â
Ketika rezim memilih sikap moderat dan terbilang longgar dalam memanfaatkan tangan kekuasaan, dalam arti tidak main gebuk seperti di masa lalu, justru semakin ke sini justru oposisi yang semakin menunjukkan kepongahannya.
Satu sisi ini positif, karena penguasa tidak lagi semena-mena seperti di masa lalu. Namun ketika sikap semena-mena justru dipertontonkan oposisi, akhirnya sama saja.Â
Oposisi hari ini bisa dengan mudahnya menjatuhkan orang hanya karena berbeda agama (ingat kasus Basuki Tjahaja Purnama). Oposisi pun bisa dengan gampangnya menghasut banyak orang dengan isu-isu agama, dan ini sudah dipamerkan dengan bagaimana mereka mengorganisasikan kekuatan yang berasal dari sentimen agama.Â
Ada kelonggaran diberikan rezim supaya oposisi bisa lebih leluasa berekspresi. Namun justru oposisi yang kini semena-mena. Ironis.
Belum lama, beredar sebuah video Lius Sungkarisma, yang ingin menjenguk salah satu pemusik yang harus berurusan dengan penjara. Ia datang di luar waktu bezuk yang ditetapkan. Semena-mena membentak petugas, dan pengiringnya merekam untuk memamerkan kepada publik.
Padahal jelas, yang menunjukkan sikap semena-mena adalah mereka yang ingin menabrak aturan yang telah ditetapkan pihak berwenang. Namun, dengan "gaya kekinian" mereka merekam itu, dan meramaikannya di media massa.Â
Atau, belum lama juga terjadi, bagaimana ketika salah satu kementerian mengadakan lomba desain. Sang menteri memanggil pegawainya untuk memilih salah satu dari dua gambar tersebut. Apa yang terjadi, pegawai ini menjawab seolah sedang memilih calon presiden.Â
Lebih jauh, justru sang menteri tadi yang dihujat publik karena pelintiran yang dilakukan pegawainya sendiri. Sedangkan pegawai yang terlibat dalam pelintiran ini tak mendapatkan tindakan semestinya, meski apa yang dilakukannya justru mempermalukan institusi di mana ia sendiri bekerja.Â
Sang menteri harus menahan malu karena hasil pelintiran yang belakangan gencar dilemparkan oposisi ke muka publik. Ia pun harus bekerja keras untuk dapat memulihkan nama baik. Di sini, kalangan oposisi tertawa bahagia, karena pemerintah memilih tidak memainkan tangan besi. Menteri ini harus menahan diri untuk tidak membalas, ketika "pisau" mematikan justru ditikam ke jantungnya oleh pegawainya sendiri.Â
Sekilas ini dapat dimaklumi. Beginilah hasil dari sebuah pergumulan politik, dan seperti inilah wajah politik yang bebas. Siapa saja bebas berdiri di mana saja. Siapa saja bebas untuk mendukung siapa saja. Namun akhirnya memamerkan ironi-ironi yang juga bikin masygul, sebab efek narasi hingga propaganda justru mampu membawa pengaruh yang dapat "membunuh" pemerintahan dari dalam.