Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Melihat Jokowi Bekerja dalam Badai Sepanjang Tahun

31 Desember 2018   23:18 Diperbarui: 31 Desember 2018   23:27 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alih-alih menggubris berbagai cibiran hingga hinaan, Jokowi memilih lebih banyak menunjukkan bagaimana penghargaan terhadap rakyat - Foto: Beritacas.com

Bekerja dengan tenang tanpa diusik siapa-siapa dan kemudian berhasil, mungkin itu bisa dibilang sebagai keberhasilan biasa-biasa saja. Luar biasa hanya ketika saat sedang bekerja nyaris tak kenal henti dijegal, diusik, dicela, hingga jadi sasaran hujan fitnah, dan tetap bisa mencapai target demi target.

Sedikitnya, pemandangan seperti itulah yang dihadapi oleh Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Sepasang pemimpin berbeda usia ini mampu bergandengan dan meraih pencapaian demi pencapaian. 

Mereka mampu menghadapi berbagai upaya pihak-pihak yang ingin menjegal mereka dengan cara-cara elegan. Meskipun dengan hujan fitnah bertaburan ke arah mereka, dapat saja mereka menyibukkan dengan main tangkap dan main jeblos ke penjara biar tenang, namun mereka memilih untuk tidak banyak mendikte. 

Pihak keamanan atau aparat yang bertanggung jawab terhadap keamanan terbilang jarang menangkap aktor-aktor yang tak berhenti mengusik keamanan dan kestabilan dalam negeri. Lebih banyak yang sekadar mendapatkan peringatan, dari peringatan ringan hingga keras. Penjara terbilang sepi dari kehadiran para pelempar fitnah. Pemerintah memilih lebih fokus terhadap pembangunan dengan filosofi dari tiga kata: kerja, kerja, dan kerja.

Inilah yang ditonjolkan sejak awal pasangan Jokowi-JK memerintah bersama, tak terkecuali hingga tahun 2018 berakhir.

Berbagai pemberitaan yang berkaitan dengan pasangan pemimpin tersebut lebih banyak membincangkan seputar apa yang sedang dikerjakan, apa yang sudah tuntas dikerjakan, dan apa saja yang sedang direncanakan.

Apa yang dilakukan terfokus pada bagaimana menghadirkan keadilan dalam pembangunan dari ujung ke ujung Nusantara, dari Aceh sampai dengan Papua, dan Miangas ke Pulau Rote. 

Prinsip itu juga yang kerap diulang oleh Jokowi saban ia berbicara di depan publik. Bagaimana menghadirkan pembangunan yang merata, hingga rakyat di mana saja bisa merasakan kehadiran tangan Pemerintah. 

Maka itu, cerita pembangunan yang di masa lalu terkesan Jawasentris, memasuki tahun ini hingga akhir tahun semakin mengental bahwa cerita pembangunan tak lagi hanya menjadi cerita di Pulau Jawa saja. Pembangunan telah menjadi cerita di mana-mana. 

Jokowi pun tidak sekadar menonjol diri sendiri. Ia bersama JK juga melibatkan banyak tangan dengan cermat, dari para menteri hingga berbagai pejabat negara. Imbasnya para pejabat yang di masa lalu lebih banyak berada di gedung ber-AC, kini lebih banyak berkeringat bersama rakyat.

Ada pesan kuat, dalam urusan membangun negara sebesar Indonesia, pemerintah tidak bekerja untuk mengisap keringat rakyat. Namun bagaimana sama-sama berkeringat, dan sama-sama merasakan hasil dari kemauan berkeringat (baca: bekerja).

Bahwa ada sebagian yang menolak berkeringat, hampir dapat dipastikan hanya mereka yang lebih gemar memamerkan diri di berbagai stasiun TV, dengan berbicara dan berbicara saja dengan mulut berbusa-busa. Apa yang dilakukan, hanya mencela dan mencela. Saat tahun akan berganti, mereka hanya menyisakan bau ludah yang menyembur di mana-mana lewat layar kaca. Menebarkan aroma kebusukan di mana-mana.

Terkait sebagian orang yang ogah berkeringat ini, dengan bau mulut yang menyembur dari ludah mereka, menghadirkan aroma busuk hingga mengganggu banyak pikiran kesulitan bekerja, hingga bingung melihat mana benar yang tidak. Hasilnya, yang bekerja jadi ikut-ikutan mereka cela, sedangkan yang berbicara begitu gigih mereka bela.

Namun sekali lagi, ada kelebihan dari Pemerintahan Jokowi-JK adalah sikap bagaimana mereka tidak terlalu menggubris urusan orang-orang yang mencela. Jadilah berbagai celaan tak sampai membuat mereka memilih berhenti dan beralih fokus ke urusan gebuk menggebuk. 

Ada beberapa yang dipenjara, sama sekali bukan karena perintah mereka, namun aparat negara meringkus beberapa penyebar aroma mulut para pemalas dalam bekerja mengikuti aturan dan hukum negara. Bukan perintah Kepala Negara, tapi konstitusi yang sudah menunjukkan mana saja yang masih bisa ditoleransi dan mana saja yang tak bisa ditoleransi lagi.

Alhasil, Pemerintah tetap bisa bekerja dan berkonsentrasi pada apa yang dikerjakan.

Terutama tahun 2018, dapat dikatakan sebagai tahun yang lebih menegaskan tentang bagaimana Pemerintahan Jokowi-JK menegakkan kedaulatan Tanah Air. Dan itu sudah dimulai bahkan sejak 1 Januari 2018 di mana Jokowi, seperti dilansir dari CNBC, mengumumkan pengelolaan migas di Blok Mahakam yang kembali ke tangan Indonesia.

Awalnya blok di Kalimantan Timur tersebut berada di tangan PT Total E&P Indonesie, namun awal 2018 diambil kembali dan pemerintah menyerahkannya kepada Pertamina. Begitu juga dengan Blok Rokan pun diambil alih setelah sekian lama berada di tangan Chevron. Per 2021 sampai dengan 20 tahun ke depan, Blok Rokan dan Mahakam akan berada di bawah pengelolaan PT Pertamina (Persero).

Penegakan kedaulatan Indonesia atas tanah dan air seperti dimandatkan Undang-Undang pun dibuktikan lagi dengan kembalinya tambang Grasberg di Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Indonesia jadi pemilik saham mayoritas, mencapai 51 persen. Pencapaian yang sebelumnya belum pernah terjadi terlepas Indonesia pernah berada di tangan dua jenderal.

Tak berlebihan jika akhirnya Jokowi menegaskan bahwa pencapaian terpenting sepanjang 2018 adalah kedaulatan Indonesia terhadap kekayaan alam sendiri. Apakah ini tidak penting? Iya, bagi mereka yang mengimani bahwa segalanya bisa terjadi hanya dengan sekadar berbicara dan mencela.

Sedangkan bagi mereka yang memahami arti tiap bulir keringat, takkan sulit untuk mengakui bahwa di antara pencapaian yang penting adalah buah dari tiap keringat yang sudah mengucur. 

Selama ini, orang-orang banyak dianggap heroik hanya sekadar karena kemampuan mengolah kata-kata, membius telinga, dan menipu mata dengan retorika. Pemerintahan hari ini, mengubah pandangan itu. Bahwa heroisme bukan lagi sekadar pada bagaimana berbicara, tetapi pada bagaimana bekerja, dan apa yang bisa dihasilkan dari apa yang dikerjakan.

Itu juga yang ditularkan hingga ke desa-desa. 

Sebut saja Dana Desa, yang selama ini gencar digalakkan Pemerintah, lebih diarahkan pada bagaimana membuat uang berputar di desa, mengembangkan desa, dan membawa keuntungan untuk desa. Tidak itu saja, namun supaya semangat bekerja dan berkeringat yang membuahkan hasil yang jelas pun ditularkan ke desa-desa.

Bahkan, untuk memastikan pembangunan itu merata hingga ke pelosok desa, alokasi dana yang sudah dikucurkan pun tak kurang dari Rp 60 triliun. 

Saat saya ke Aceh beberapa waktu lalu, awal Desember, ke pedesaan Nagan Raya yang berjarak 400-an kilometer dari Banda Aceh--ibu kota provinsi--saya dapatkan pengakuan dari sejauh mana mereka merasakan hasil pemerintahan hari ini. 

Zahri (40 tahun), salah satu warga di Gampong Blang Mulieng, dengan kejujuran khas warga desa berujar, "Ya, dari dana itu kami dapat merasakan pembangunan hingga ke gampong. Bukan dana kecil, karena kami bisa menggunakan dana yang ada untuk membangun apa-apa yang kami butuhkan sebagai warga gampong. Kami sebagai penduduk bisa bekerja dan mendapatkan upah dari dana itu, jadi uang itu mengalir dan berputar di gampong kami."

Menurut pengakuannya, apa yang dirasakan dari Dana Desa sejauh ini adalah pemerintah memberikan "kail" kepada masyarakat di desanya--sebagai pengibaratan. "Jika diberikan 'ikan' pastilah ikan itu akan habis begitu saja. Sedangkan ini kami merasa ditantang dengan mendapatkan 'kail' yang dengannya kami bisa mendapatkan ikan yang kami mau. Bukan cuma untuk kami, tetapi juga kelak untuk anak-anak kami."

Ya, itu hanya gambaran, namun setidaknya dapat menunjukkan sejauh mana manfaat dari kebijakan yang telah dijalankan oleh seorang pemimpin yang--mengutip Adian Napitupulu--lahir dari rahim rakyat dan yang sudah menghirup aroma keringat rakyat. 

Bahwa dengan semua keringat yang sudah dikucurkan habis-habisan hingga tahun demi tahun berakhir, namun tetap berbuah cibiran tanpa akhir, tetap ada yang takkan berakhir: jejak demi jejak yang telah ditorehkan dari sudut ke sudut Tanah Air.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun