Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Capres Bicara Apa?

5 Desember 2018   13:51 Diperbarui: 5 Desember 2018   14:02 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya ingin mengajak membayangkan meja judi untuk mengawali ocehan kali ini. Namun hampir pasti, sebagian besar yang membaca bisa jadi adalah orang yang tidak pernah berjudi, atau mungkin memang sangat membenci judi.

Sudah. Jangan dibayangkan.

Cukup menyadari saja jika kita yang tidak menggemari judi ini kenapa sampai membenci permainan ini, namun di sisi lain masih saja gemar berjudi di banyak hal di luar meja judi. 

Satu sisi menjauhi meja judi, di sisi lain masih saja sangat menyukai perjudian. Bertaruh dengan sesuatu yang jauh lebih mahal daripada sekadar tabungan, harta benda, dan berbagai aset yang ada, bahkan terkesan kian menjadi hobi.

Bicara urusan memilih pemimpin bisa jadi cukup dekat kemiripan dengan "perjudian" disebut terakhir. 

Ya, karena dalam perjudian ini bahkan mereka yang bangga menyandang status pemuka agama saja bahkan mengajak orang-orang untuk berjudi. Meyakini sesuatu yang sama sekali tak ada sinyal kepastian, apakah memercayakan seseorang memimpin itu akan menguntungkan atau bahkan menghancurkan--bukan sekadar merugikan saja.

Pemuka agama seperti ini mengajak berjudi dalam sikap politik, meski jika ia diajak ke kasino bisa jadi dialah paling keras menolak dan berteriak, karena alasan judi adalah haram, judi itu merugikan, dan judi itu menghancurkan. Namun dalam politik, mereka menjual apa saja yang paling mahal, dari nama Tuhan hingga nama agama, hanya agar bisa memastikan orang yang ia jagokan terpilih.

Di sini saya terbuka saja, memang menolak keras salah satu capres yang sepanjang terdepak dari karier militernya hanya berkutat pada perburuan. Ia berburu istana dan kekuasaan, tak pernah jeda, dan masih menjaga ambisinya hingga kini seolah ialah paling pantas merajai negeri ini.

Jika ditilik-tilik, bekal dan rekam jejak apa yang berpengaruh besar kepada masyarakat luas dari yang sudah dilakukan? Hampir tidak ada. 

Jika ditanya kepada publik, apakah mereka lebih banyak mendapatkan manfaat berupa pemberdayaan atau setidaknya inspirasi hidup atau hanya sekadar termakan popularitasnya, sepertinya hampir pasti umumnya akan menunjukkan yang terakhir.

Ia punya popularitas tinggi. Setidaknya, terlepas masih di bawah petahana Joko Widodo, namun dalam hal popularitasnya cukup patut untuk diperhitungkan.

Sebut saja survei dilakukan pada periode 7-14 September 2018 oleh Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Prabowo Subianto mencatat elektabilitas hingga 28,7 persen. Cukup menunjukkan bagaimana popularitas mereka terbilang lumayan, terlepas Jokowi sudah mendapatkan 60,2 persen dari sisi elektabilitas secara nasional.

Bahkan lembaga lain seperti Alvara Research Center memperlihatkan hasil nasional hingga 33,9 persen untuk Prabowo, dan Jokowi mencatat 54,1 persen. Lagi-lagi, paling tidak ini menunjukkan ada petunjuk bahwa capres paling gigih mengikuti bursa capres sepanjang masa itu mampu mendongkrak popularitas dan pengaruhnya terhadap publik.

Masalahnya adalah apa yang sudah dilakukan dalam mendongkrak popularitas hingga elektabilitas itu?

Begini, kalau saya bilang bahwa capres ini terlalu banyak menjual kebohongan, mungkin akan terasa tendensius. Apalagi banyak yang mencium bahwa pemilik tangan yang menulis ocehan di artikel ini "terlalu bau Jokowi" dan hampir pasti tendensius. Tapi, apakah ada yang lain di luar kebohongan dilakukan capres ini untuk mendongkrak popularitas tersebut?

Ada semacam ketidakselarasan antara cita-cita dan apa yang sudah dilakukan. Sebut saja ketika ia mendeklarasikan diri akan mendidik generasi penerus. "Selama hayat masih di kandung badan, saya tidak akan lelah untuk selalu mendidik generasi penerus yang cinta negaranya dan paham cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia." Ini tentu saja kalimat indah, bagus, dan pastinya positif. Namun dengan kebohongan demi kebohongan, seperti keterlibatannya dalam menyebarkan kabar Ratna Sarumpaet dipukuli, hingga angka kemiskinan dan korupsi, menunjukkan ketidakselarasan itu.

Berdalih bahwa itu adalah sesuatu yang berada di luar kesengajaan, namun itu terus saja dilakukan berkali-kali, tidak bisa dikatakan keliru juga jika publik berasumsi bahwa capres ini hanya menjadikan kebohongan sebagai alat untuk mencuri perhatian.

Publik hari ini satu sisi memang tak asing lagi dengan teori-teori seputar strategi. Tak terkecuali dalam kancah pertarungan politik. Hampir tidak ada kalangan terdidik yang asing dengan berbagai teori yang bermunculan seputar bagaimana menggunakan bahasa, lewat pernyataan, dan sebagainya yang membawa pengaruh langsung terhadap penerimaan masyarakat luas.

Jauh-jauh hari pemikir sekelas Alfred Jules Ayer (pencetus positivisme logis) dan banyak membahas seputar bahasa pun pernah membahas bagaimana ketika kalimat membawa pengaruh hingga menjadi wacana, dilakukan berulang kali tanpa menggubris benar tidaknya, dan akhirnya betul-betul bisa masuk dalam ruang penerimaan publik.

Lebih lanjut, lantaran hal ini dianggap kebenaran, terlebih ketika sebuah pernyataan keluar dari seorang tokoh yang notabene menjadi panutan sebagian publik, dapat saja mengakibatkan kebohongan mengalir ke mana-mana. Terlebih saat kebohongan dipoles begitu rupa, bisa-bisa kebohongan itu dianggap berharga, sedangkan kebenaran justru semakin kehilangan harga.  

Sementara di sisi lain, di luar urusan kontestasi pencapresan, ada yang jauh lebih penting dipelihara adalah nalar publik. Ketika nalar publik disesatkan, dan nalar begitu lantas menjadi warisan, maka alih-alih kelak mendatangkan generasi yang semakin mampu memperbaiki negerinya, yang ada justru menghancurkannya. Ramalan Prabowo sendiri bahwa negeri ini bubar 2030 dapat saja terjadi jika sejak menjalani proses berburu kekuasaan saja sudah melazimkan kebohongan sebagai senjata.

Apalagi tampaknya dengan terus berulangnya pernyataan dengan tingkat kebenaran kecil atau bahkan nihil, tak berlebihan rasanya jika muncul dugaan, sepertinya capres ini memang sekadar menyasar pengaruh dan mengejar elektabilitas saja. Sementara ada hal terpenting yang dilupakan adalah pengaruh dari tiap pernyataannya yang tidak saja menyesatkan publik, tetapi juga membahayakan.

Kenapa saya sebut berbahaya, tak lain karena jika pikiran publik terus-menerus diisi dengan kebohongan, lalu pikiran terisi kebohongan melahirkan tindakan yang hanya mengacu pada kebohongan itu sendiri, maka nasib bangsa atau bahkan dunia bisa membaik pun hanya akan menjadi cerita bohong belaka. Menurut saya sih begitu, bagaimana menurutmu?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun