Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Capres Bicara Apa?

5 Desember 2018   13:51 Diperbarui: 5 Desember 2018   14:02 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia punya popularitas tinggi. Setidaknya, terlepas masih di bawah petahana Joko Widodo, namun dalam hal popularitasnya cukup patut untuk diperhitungkan.

Sebut saja survei dilakukan pada periode 7-14 September 2018 oleh Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Prabowo Subianto mencatat elektabilitas hingga 28,7 persen. Cukup menunjukkan bagaimana popularitas mereka terbilang lumayan, terlepas Jokowi sudah mendapatkan 60,2 persen dari sisi elektabilitas secara nasional.

Bahkan lembaga lain seperti Alvara Research Center memperlihatkan hasil nasional hingga 33,9 persen untuk Prabowo, dan Jokowi mencatat 54,1 persen. Lagi-lagi, paling tidak ini menunjukkan ada petunjuk bahwa capres paling gigih mengikuti bursa capres sepanjang masa itu mampu mendongkrak popularitas dan pengaruhnya terhadap publik.

Masalahnya adalah apa yang sudah dilakukan dalam mendongkrak popularitas hingga elektabilitas itu?

Begini, kalau saya bilang bahwa capres ini terlalu banyak menjual kebohongan, mungkin akan terasa tendensius. Apalagi banyak yang mencium bahwa pemilik tangan yang menulis ocehan di artikel ini "terlalu bau Jokowi" dan hampir pasti tendensius. Tapi, apakah ada yang lain di luar kebohongan dilakukan capres ini untuk mendongkrak popularitas tersebut?

Ada semacam ketidakselarasan antara cita-cita dan apa yang sudah dilakukan. Sebut saja ketika ia mendeklarasikan diri akan mendidik generasi penerus. "Selama hayat masih di kandung badan, saya tidak akan lelah untuk selalu mendidik generasi penerus yang cinta negaranya dan paham cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia." Ini tentu saja kalimat indah, bagus, dan pastinya positif. Namun dengan kebohongan demi kebohongan, seperti keterlibatannya dalam menyebarkan kabar Ratna Sarumpaet dipukuli, hingga angka kemiskinan dan korupsi, menunjukkan ketidakselarasan itu.

Berdalih bahwa itu adalah sesuatu yang berada di luar kesengajaan, namun itu terus saja dilakukan berkali-kali, tidak bisa dikatakan keliru juga jika publik berasumsi bahwa capres ini hanya menjadikan kebohongan sebagai alat untuk mencuri perhatian.

Publik hari ini satu sisi memang tak asing lagi dengan teori-teori seputar strategi. Tak terkecuali dalam kancah pertarungan politik. Hampir tidak ada kalangan terdidik yang asing dengan berbagai teori yang bermunculan seputar bagaimana menggunakan bahasa, lewat pernyataan, dan sebagainya yang membawa pengaruh langsung terhadap penerimaan masyarakat luas.

Jauh-jauh hari pemikir sekelas Alfred Jules Ayer (pencetus positivisme logis) dan banyak membahas seputar bahasa pun pernah membahas bagaimana ketika kalimat membawa pengaruh hingga menjadi wacana, dilakukan berulang kali tanpa menggubris benar tidaknya, dan akhirnya betul-betul bisa masuk dalam ruang penerimaan publik.

Lebih lanjut, lantaran hal ini dianggap kebenaran, terlebih ketika sebuah pernyataan keluar dari seorang tokoh yang notabene menjadi panutan sebagian publik, dapat saja mengakibatkan kebohongan mengalir ke mana-mana. Terlebih saat kebohongan dipoles begitu rupa, bisa-bisa kebohongan itu dianggap berharga, sedangkan kebenaran justru semakin kehilangan harga.  

Sementara di sisi lain, di luar urusan kontestasi pencapresan, ada yang jauh lebih penting dipelihara adalah nalar publik. Ketika nalar publik disesatkan, dan nalar begitu lantas menjadi warisan, maka alih-alih kelak mendatangkan generasi yang semakin mampu memperbaiki negerinya, yang ada justru menghancurkannya. Ramalan Prabowo sendiri bahwa negeri ini bubar 2030 dapat saja terjadi jika sejak menjalani proses berburu kekuasaan saja sudah melazimkan kebohongan sebagai senjata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun