Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tiga Jurus SBY Membuka Mata Gerindra

17 November 2018   21:06 Diperbarui: 17 November 2018   21:22 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY sebagai pemilik rapor dua kali menang Pilpres semestinya lebih diperhatikan Prabowo - Gbr: KOMPAS.com

Tidak kurang dari 1,2 ribu retweet didapatkan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam tiga hari. Cuitan yang mendapatkan perhatian di jagat media sosial itu adalah sederet kalimat bernada kritikan tajam atas Gerindra.

"Sebenarnya saya tak harus tanggapi pernyataan Sekjen Gerindra. Namun, karena nadanya tak baik dan terus digoreng terpaksa saya respons," begitulah isi cuitan SBY yang dirilis tanggal 15 November 2018.

Bukan cuitan tunggal, tentunya. Melainkan itu merupakan cuitan pembuka untuk pernyataan lebih lanjut dari SBY terhadap Gerindra. Dari seluruh cuitan terkait itu, setidaknya ada tiga cuitan lain yang juga paling menunjukkan ketegasan seorang SBY di tengah dinamika koalisi yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden sekaligus menunjukkan perspektif dan visi pesohor Partai Demokrat tersebut:

Perspektif Kebangsaan

Kalau "jabaran visi-misi" itu tak muncul, bukan hanya rakyat yang bingung, para pendukung pun juga demikian. Sebaiknya semua introspeksi.

Ini pantas diapresiasi sebagai pernyataan yang memiliki perspektif kebangsaan. Sebab, titik bidik yang menjadi perhatian, menjadi highlight, dari cuitan ini adalah rakyat. Jika mengulik kalimat tersebut, memberikan pesan bahwa boro-boro rakyat biasa yang katakanlah jauh dari lingkaran koalisi mereka, para pendukung yang berada di lingkaran itu juga bisa merasakan kebingungan.

Di sini, rakyat menjadi perhatian SBY karena terlepas orientasi politik dan pilihan dukungannya, ia tetap merupakan salah satu figur yang pernah menguasai negeri ini hingga dua periode (10 tahun). Bisa digarisbawahi bahwa setelah Soeharto yang berkuasa hingga 32 tahun, SBY sejauh ini masih tercatat sebagai orang kedua terlama memegang tampuk kepemimpinan di Indonesia. Maka itu, perhatiannya terhadap pengaruh atas rakyat dari tren yang diperlihatkan koalisinya, menjadi sebuah "warning", bahwa ada rakyat yang mesti diperhatikan.

Sederhananya, boro-boro koalisi tersebut mampu memimpin dan mengubah nasib rakyat jika mereka sejauh ini hanya sekadar membawa-bawa nama rakyat, namun mereka sendiri linglung, "Jika nanti berkuasa, kita bisa melakukan apa?" Ini yang tidak ditemukan SBY, dan itu memang mewakili suara rakyat, terutama yang masih menimbang-nimbang ke mana tahun depan harus menjatuhkan pilihan.

Sebab secara faktual, apa yang dipamerkan kelompok arus utama di lingkaran koalisi pendukung Prabowo, hanya menciptakan satu kehebohan demi kehebohan. Dari bagaimana Ratna Sarumpaet dengan operasi plastik yang dipelintir sebagai penganiayaan dengan kekompakan koalisi itu melempar tuduhan kepada petahana Joko Widodo, sampai dengan pelecehan terhadap masyarakat Boyolali yang dilakukan Prabowo sendiri.

Katakanlah itu sebagai kesalahan kecil, namun lebih kecil lagi kejelasan koalisi tersebut dalam menunjukkan bahwa mereka memang memiliki konsep lebih baik dan ide lebih brilian dalam mengubah Indonesia menjadi lebih baik.

Mereka lihai membicarakan kelemahan petahana sebagai lawan mereka. Bahkan dari soal dialek untuk pengucapan "Alfatihah" saja dipelintir habis-habisan, hingga penyebutan kata "Sontoloyo" dari Jokowi pun dimainkan secara berjamaah, untuk menguatkan propaganda hingga kampanye negatif bahwa lawan mereka lebih buruk daripada mereka. Namun mereka sendiri lagi-lagi justru linglung menunjukkan hal-hal yang lebih dibutuhkan publik yang memang menginginkan referensi atau acuan cukup jelas dalam menentukan pilihan.

Dapat dikatakan, koalisi yang terlanjur didukung SBY ini hanya lihai menertawakan apa yang sudah dilakukan lawan, namun mereka sendiri dari hari ke hari semakin menunjukkan diri tak ubahnya grup lawak bertampang serius. Mereka punya tim kampanye berwajah dibuat-buat seserius mungkin, namun hampir semua pernyataan mereka hanya menjadi tertawaan publik. Inilah yang dibidik oleh SBY, untuk diubah dan dapat bersikap lebih elegan, sekaligus untuk menunjukkan bahwa mereka memang bukanlah grup lawak.

Mengajak Realistis

"Saya pikir tak ada satu pun partai politik (yang tak punya capres dalam pemilu serentak ini) yang tak utamakan partainya."

Ini menjadi cuitan lainnya yang juga sangat pantas diperhatikan dari sosok SBY. Sebab di sini ia memang memperlihatkan ketegasan sekaligus sikap realistis, bahwa partai-partai pendukung Prabowo bukanlah abdi atau pesuruh capres tersebut.

Partai-partai pendukung Prabowo seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, hingga Partai Demokrat sendiri tetap saja memiliki agenda prioritas untuk nasib partai mereka sendiri. Bahwa masing-masing partai ada yang memilih cari muka, dengan menunjukkan bahwa mereka paling gigih membela Prabowo, tetap saja mereka berangkat dan menuju ke terminal kepentingan mereka sendiri. 

Absurd, tentu saja, jika Prabowo dan pengikutnya berharap bahwa Gerindra akan menjadi prioritas bagi partai-partai pendukung. Bagi partai-partai itu tetap saja Gerindra tidak lebih penting dibandingkan partai mereka. Terlepas ada beberapa figur dari partai-partai itu gemar menunjukkan sikap layaknya "asisten rumah tangga" dalam bersikap terhadap majikan, namun itu bisa dipahami sebagai bagian mereka untuk meyakinkan Prabowo bahwa mereka adalah pendukung setia. Namun itu juga bisa ditafsirkan sebagai permainan agar kalau Prabowo menang maka mereka tetap dapat benefit, dan kalau Prabowo kalah namun partai mereka tetap selamat dan hidup lebih baik.

Setidaknya itulah kira-kira pesan yang disampaikan SBY, dan keterusterangan ini memang tak banyak diutarakan oleh elite partai lain di koalisi tersebut. PAN pernah mengungkapkan kalimat senada, namun itu juga datang dari "pelapis kedua". Bukan dari elite utama partai. Berbeda dengan SBY yang memilih berbicara langsung dan terbuka apa adanya, karena bagaimanapun ia lebih memahami pertarungan menuju kekuasaan--karena telah dua kali menang dan jadi presiden--saat partai-partai di lingkarannya selama ini memang tercatat sebagai pecundang.

Konsentrasi ke partai sendiri

"Kalau Partai Demokrat yang terus diributin, para kader Demokrat tak perlu gusar dan kecil hati. Go on. Kita tak pernah ganggu partai lain."

Ini juga menunjukkan ketegasan sekaligus kejelasan sikap seorang SBY dalam melihat di mana posisi partainya dan bagaimana menempatkan Gerindra yang bagaimanapun tetaplah partai lain. Jika diibaratkan sebagai dua rumah, kalaupun ada kegiatan gotong royong, maka tanggung jawab terhadap rumah masing-masing tetap menjadi prioritas.

SBY yang lagi-lagi secara faktual memang paling berpengalaman dalam memenangi kontestasi Pilpres, dengan dua kali memenangi ajang demokrasi itu, pun sedang menunjukkan harga diri dan kehormatannya. Ia tak ingin partainya dianggap hanya sekadar mencari selamat karena kewajiban harus mendukung salah satu kubu saat di sisi lain memang tak memungkinkan baginya mendukung kubu rival Prabowo.

Itu dapat saja menjadi sebuah pesan bahwa pihaknya tetap bekerja selayaknya partai koalisi. Namun di sisi lain jika kontribusi partainya tidak diperhitungkan atau dipandang paling kecil, hingga dianggap tidak berguna, maka pihaknya pun siap untuk mengikuti irama. Pihak Demokrat dapat saja bermain sendiri, memfokuskan pada bagaimana mengejar suara sebanyak-banyaknya untuk legislatif.

Artinya, SBY pun sedang menegaskan bahwa bagaimanapun partainya di antara partai-partai pengusung Prabowo, bukanlah partai kecil. Mereka memiliki riwayat panjang sebagai juara dalam pertarungan demokrasi. Dan mereka dapat saja kembali berkonsentrasi saja membesarkan lagi nama mereka. Sebab mau tidak mau, pengaruh Partai Demokrat di tengah-tengah rakyat masih dapat dikatakan sangat kuat.

Tentu saja, ini tak dapat diremehkan oleh Prabowo dan Gerindra. Kecuali jika mereka merasa sudah cukup hanya dengan PAN dan PKS yang untuk bernapas sendiri saja kini kepayahan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun