Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal Tampang Boyolali dan Narasi Nirempati

6 November 2018   20:32 Diperbarui: 6 November 2018   20:44 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protes keras dari masyarakat Boyolali atas dugaan pelecehan nama masyarakat setempat - Gbr: Suara.com

"Sekarang orang-orang yang sok membela orang Boyolali justru katakan kata-kata tidak pantas." Begitulah ungkapan kekesalan Yandri Susanto yang tak lain adalah salah satu juru kampanye nasional pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Ungkapan itu dikutip oleh beberapa media mainstream, beredar di mana-mana, dan didukung oleh simpatisan kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sama-sama berlatar belakang Partai Gerindra tersebut--meski dengan sebuah drama menutup kesan bahwa Sandi adalah orang partai itu.

Ungkapan itu sendiri bisa ditangkap sebagai sebuah ekspresi dari sudut pandang bahwa pelecehan Prabowo terhadap warga Boyolali hanya persoalan biasa. Yang luar biasa hanyalah penghinaan yang dilakukan pihak yang "sok membela orang Boyolali" karena tertuju kepada satu figur yang sedang dibuai mimpi indah bahwa sebentar lagi akan memimpin negeri ini.

Sebagai calon presiden, tak ada yang bisa disalahkan. Dia tidak salah, dan apa yang meluncur dari mulutnya hanyalah seuntai kalimat bernada keakraban.

Setidaknya sudut pandang itulah yang lagi dan lagi dikembangkan oleh kubu capres-cawapres dukungan Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat tersebut.

Jika dibilang logis, memang logis saja. Namun apakah itu benar, memang masih pantas diperdebatkan. Terutama, terkait apakah itu adalah pelecehan dan penghinaan atau bukan ketika "orang luar" Boyolali memberikan label-label negatif terhadap orang-orang yang lahir, tumbuh, dan mungkin meninggal dunia di salah satu kabupaten di Jawa Tengah tersebut.

Sebab ada hal lain yang terlihat sama sekali alpa dilihat oleh orang-orang yang memasang badan sebagai pembela Prabowo, dan itu adalah persoalan harga diri, nama baik, dan kehormatan masyarakat Boyolali sendiri. 

Dan saya yakin kalian nggak pernah masuk hotel-hotel tersebut, betul? (Betul, sahut hadirin yang ada di acara tersebut). Mungkin kalian diusir, tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini."

Berdalih bahwa orang-orang di dalam forum di mana Prabowo berpidato justru menyambut "candaan" capres tersebut dengan tawa, menurut para pembela capres ini merupakan bukti bahwa mereka sama sekali tak melihat itu sebagai penghinaan.

Padahal, kalau mau melihat lagi, ada berapa orang yang berada di dalam forum itu? Apakah mereka seluruhnya adalah orang-orang Boyolali tulen, atau segelintir simpatisan capres ini sendiri?

Sebab pada buktinya ada ribuan orang, atau berkali lipat yang kemudian memilih turun ke jalan, melayangkan protes dan menolak stigma-stigma yang diberikan Prabowo terhadap penduduk kabupaten tersebut.

Bahkan bupati setempat, Seno Samodro, pun menjadi salah satu yang terdepan dalam melakukan protes atas pidato yang bermuatan penghinaan tersebut.

Jadi, melihat Boyolali akan lebih adil jika menggunakan kacamata orang-orang Boyolali sendiri. Bukan orang yang sekadar berdalih akrab dengan kabupaten itu sendiri, dan bukan juga segelintir simpatisan yang tak dapat diverifikasi apakah asli masyarakat setempat atau bukan.

Nah, dalam melihat dengan kacamata Boyolali ini, tentu saja yang bisa dipegang adalah suara yang lebih banyak muncul sebagai reaksi atas stigma negatif diberikan salah satu capres itu terhadap mereka. Kebanyakan warga setempat menolak pelecehan dan penghinaan itu. Sebab bagi mereka, nama daerah mereka adalah harga diri mereka.

Disayangkan karena bagi jurkamnas Prabowo-Sandi, hanya mau melihat dengan kacamata sendiri, dan masih terlalu pongah dalam memahami apa yang lebih dalam dirasakan oleh masyarakat setempat.

Ditambah lagi, mereka memainkan narasi bahwa gejolak yang sempat muncul pasca-pidato Prabowo yang menyebut--dengan bahasa sederhana--bahwa hotel-hotel Jakarta tidak pantas dimasuki orang Boyolali hanyalah karena hasutan pihak lawan politik mereka. 

Di sinilah terlihat mereka hanya mengambil pola pikir biner, antara kami dan mereka, kawan atau lawan. Ketika sebuah pandangan menyeruak, langsung saja mereka melemparkan kesalahan kepada siapa saja bahwa mereka tersebut adalah lawan.

Di sinilah buruknya narasi yang menjadi pegangan kubu Prabowo-Sandi.

Tidak jauh berbeda juga ketika mereka merespons pembohongan publik yang menempatkan Ratna Sarumpaet sebagai aktor utama. Bahkan saat mereka sendiri belum memverifikasi secara sahih, bahkan sudah melemparkan kesalahan kepada lawan politik mereka sebagai pelaku penganiayaan seorang perempuan berusia 70 tahun.

Terlihat mereka memang sangat piawai dalam memainkan emosi publik, memunculkan perdebatan, hingga memunculkan riak dan gelombang. Sedangkan mereka sendiri hanya bermain di atas gelombang itu untuk bisa menuju ke gelombang terbesar yang diyakini bisa melempar mereka ke tempat yang diinginkan. 

Mereka nyaris tak menggubris bagaimana jika riak itu menjadi gelombang, dan gelombang besar kemudian menghantam siapa saja. Mereka tak peduli bahwa bermain-main dengan gelombang seperti itu dapat saja memakan korban, karena tak semua orang mampu berenang bersama gelombang ini.

Kemiripan kasus Boyolali dengan kasus Ratna Sarumpaet ini adalah dalam bagaimana mereka menyulap kesalahan telanjang mereka agar berubah menjadi kesalahan pihak yang mereka posisikan sebagai lawan. 

Bahwa dalam politik hal-hal seperti ini terbilang lazim, karena memang di banyak tempat dan di berbagai belahan dunia tak sedikit yang memanfaatkan jurus-jurus politik seperti ini, memang faktual. Namun jika melihat konsekuensi-konsekuensi jauh ke depan, sejatinya permainan seperti ini terbilang keji.

Dalam kasus Boyolali, kekejian itu adalah sikap mereka yang sama sekali tidak menganggap penghinaan terhadap ratusan ribu orang sebagai hal serius. Persoalan itu disederhanakan menjadi sekadar masalah biasa, hanya candaan, sekadar kelakar, dan tak ada yang serius.

Seperti juga belum lama se-Indonesia dapat melihat, pembohongan publik melibatkan Ratna pun mampu diolah sebegitu rupa oleh mereka bahwa itu bukanlah masalah. Bahkan dengan licin mereka masih bisa melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang justru sebelumnya telah mereka tuduh sebagai penyebab penganiayaan terhadap seorang nenek berusia 70 tahun.

Dari kacamata edukasi, permainan narasi seperti mereka mainkan dapat ditegaskan sebagai sesuatu yang tidak mendidik sama sekali. Sebab yang mereka tonjolkan adalah bagaimana melakukan segala cara agar yang buruk dapat terlihat sebagai baik, dan yang salah pun tetap terlihat sebagai sesuatu yang benar.

Ada logika terbalik yang sekaligus menabrak logika-logika yang umum, menjadi senjata mereka, dan itu terlihat terus saja mereka mainkan sepanjang perjalanan menuju Pilpres 2019.

Padahal ada yang perlu dilihat di tengah serentetan pemandangan itu bahwa ada banyak hal yang jauh lebih penting dari sekadar Pilpres, yakni masa depan negeri ini sendiri. Selayaknya masa depan, sesuatu yang di depan, sepatutnya dijalani bersama--terlepas perbedaan politik--dengan mata dan pandangan yang baik dan jernih, agar tidak ada yang keluar dari badan jalan, atau justru membuat perjalanan ke depan tersendat.

Sebab siapa saja yang menjadi pemimpin setelah Pilpres 2019, maka rakyat yang akan mengikuti perjalanan itu adalah seluruh rakyat yang memang membutuhkan pemimpin yang mampu menularkan cara melihat yang jernih dan baik.

Ironisnya, mereka yang sedang mengusung salah satu capres ini justru terkesan membiarkan publik terbiasa dengan cara mereka: mengaburkan persoalan, menyederhanakan persoalan serius, menganggap enteng persoalan-persoalan yang dapat berdampak serius.

Langkah politik yang dimunculkan semakin terkesan asal mampu mengundang kehebohan, asal membuat mereka terus menjadi perbincangan, asal perhatian publik terus tertuju ke arah mereka, maka semua lantas dianggap menjadi benar. Apakah cara-cara ini mampu memberikan inspirasi baik bagi publik, terlihat bukanlah perhatian mereka.

Maka itu, jika menyimak satu demi satu kehebohan yang mereka munculkan, tak terlalu menggubris layak atau tidak apa yang mereka lakukan. Sebab dari apa pun yang terjadi, mereka memang punya mesin politik dan kemampuan untuk mengolah apa saja yang terjadi untuk justru membuat mereka terangkat.

Tak terkecuali dalam kasus Boyolali. Simak saja apa yang sedang mereka kembangkan saat ini. Alih-alih mereka menunjukkan respek kepada masyarakat kabupaten tersebut, bahkan mereka melancarkan narasi yang menyerang pemimpin warga setempat, Bupati Seno Samodro. 

Apakah langkah mereka itu bisa membawa pesan baik kepada masyarakat luas? Tidak. Sebab pesan yang mereka tonjolkan justru lakukanlah apa saja sepanjang itu menguntungkan, dan itu bisa membantu untuk meraih kemenangan.

Di sinilah terlihat yang menonjol bahwa kemenangan kelompok jauh lebih penting bagi mereka, alih-alih sejak awal berusaha menunjukkan bahwa jika kami kelak menang maka ini adalah kemenangan kita semua. Mereka justru, terpenting kami menang, bukanlah persoalan apakah kalian juga merasakan kemenangan atau tidak.

Semangat kelompok jauh lebih rajin dipamerkan oleh pendukung Prabowo Subianto. Dan, kasus Boyolali ini cukup untuk menunjukkan bagaimana budaya berpolitik yang sedang dikembangkan. Sebuah budaya yang bisa dikatakan sebagai cara Machiavellian, yang meletakkan hasil di atas segalanya. Dan, ini bukanlah sebuah budaya yang baik untuk sebuah negara dan bangsa yang berdiri di atas keberagaman, kemajemukan, yang lebih membutuhkan harmoni dan sudut pandang bahwa kebersamaan jauh lebih penting daripada sekadar semangat kelompok.

Jadi, di tengah pusaran kasus Boyolali dan reaksi yang dimunculkan para pendukung Prabowo, yang perlu ditentang oleh siapa saja adalah budaya tersebut yang dapat dipastikan justru membahayakan negeri ini sendiri. Sebab, jika paradigma mereka mainkan itu kelak berhasil, maka para koruptor pun bisa memasang wajah sebagai abdi negara terbaik, dan para pembunuh bangsa sendiri bisa terlihat seolah malaikat. 

Kenapa? Karena sejak awal mereka sudah menunjukkan kegandrungan memainkan narasi seperti ini, yang menumbuhkan budaya bagaimana mengaburkan segala sesuatu sehingga yang salah pun dapat terlihat benar. Sebagai bangsa yang ingin berjalan sejauh mungkin ke tempat yang lebih maju ke depan, sudut pandang yang cenderung mengaburkan persoalan itu hanya bikin negeri ini berjalan di tempat.

Sulit berharap mereka dapat membuat harga diri rakyat negeri ini terjaga dan tetap terhormat. Toh, dari kasus Boyolali saja dapat terlihat bagaimana mereka melihat kehormatan masyarakat banyak: hanya persoalan sederhana. Kata siapa? Ya, mereka sendiri, dan silakan kaji lagi bagaimana narasi demi narasi mereka kembangkan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun