Kemiripan kasus Boyolali dengan kasus Ratna Sarumpaet ini adalah dalam bagaimana mereka menyulap kesalahan telanjang mereka agar berubah menjadi kesalahan pihak yang mereka posisikan sebagai lawan.Â
Bahwa dalam politik hal-hal seperti ini terbilang lazim, karena memang di banyak tempat dan di berbagai belahan dunia tak sedikit yang memanfaatkan jurus-jurus politik seperti ini, memang faktual. Namun jika melihat konsekuensi-konsekuensi jauh ke depan, sejatinya permainan seperti ini terbilang keji.
Dalam kasus Boyolali, kekejian itu adalah sikap mereka yang sama sekali tidak menganggap penghinaan terhadap ratusan ribu orang sebagai hal serius. Persoalan itu disederhanakan menjadi sekadar masalah biasa, hanya candaan, sekadar kelakar, dan tak ada yang serius.
Seperti juga belum lama se-Indonesia dapat melihat, pembohongan publik melibatkan Ratna pun mampu diolah sebegitu rupa oleh mereka bahwa itu bukanlah masalah. Bahkan dengan licin mereka masih bisa melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang justru sebelumnya telah mereka tuduh sebagai penyebab penganiayaan terhadap seorang nenek berusia 70 tahun.
Dari kacamata edukasi, permainan narasi seperti mereka mainkan dapat ditegaskan sebagai sesuatu yang tidak mendidik sama sekali. Sebab yang mereka tonjolkan adalah bagaimana melakukan segala cara agar yang buruk dapat terlihat sebagai baik, dan yang salah pun tetap terlihat sebagai sesuatu yang benar.
Ada logika terbalik yang sekaligus menabrak logika-logika yang umum, menjadi senjata mereka, dan itu terlihat terus saja mereka mainkan sepanjang perjalanan menuju Pilpres 2019.
Padahal ada yang perlu dilihat di tengah serentetan pemandangan itu bahwa ada banyak hal yang jauh lebih penting dari sekadar Pilpres, yakni masa depan negeri ini sendiri. Selayaknya masa depan, sesuatu yang di depan, sepatutnya dijalani bersama--terlepas perbedaan politik--dengan mata dan pandangan yang baik dan jernih, agar tidak ada yang keluar dari badan jalan, atau justru membuat perjalanan ke depan tersendat.
Sebab siapa saja yang menjadi pemimpin setelah Pilpres 2019, maka rakyat yang akan mengikuti perjalanan itu adalah seluruh rakyat yang memang membutuhkan pemimpin yang mampu menularkan cara melihat yang jernih dan baik.
Ironisnya, mereka yang sedang mengusung salah satu capres ini justru terkesan membiarkan publik terbiasa dengan cara mereka: mengaburkan persoalan, menyederhanakan persoalan serius, menganggap enteng persoalan-persoalan yang dapat berdampak serius.
Langkah politik yang dimunculkan semakin terkesan asal mampu mengundang kehebohan, asal membuat mereka terus menjadi perbincangan, asal perhatian publik terus tertuju ke arah mereka, maka semua lantas dianggap menjadi benar. Apakah cara-cara ini mampu memberikan inspirasi baik bagi publik, terlihat bukanlah perhatian mereka.
Maka itu, jika menyimak satu demi satu kehebohan yang mereka munculkan, tak terlalu menggubris layak atau tidak apa yang mereka lakukan. Sebab dari apa pun yang terjadi, mereka memang punya mesin politik dan kemampuan untuk mengolah apa saja yang terjadi untuk justru membuat mereka terangkat.