Sebab pada buktinya ada ribuan orang, atau berkali lipat yang kemudian memilih turun ke jalan, melayangkan protes dan menolak stigma-stigma yang diberikan Prabowo terhadap penduduk kabupaten tersebut.
Bahkan bupati setempat, Seno Samodro, pun menjadi salah satu yang terdepan dalam melakukan protes atas pidato yang bermuatan penghinaan tersebut.
Jadi, melihat Boyolali akan lebih adil jika menggunakan kacamata orang-orang Boyolali sendiri. Bukan orang yang sekadar berdalih akrab dengan kabupaten itu sendiri, dan bukan juga segelintir simpatisan yang tak dapat diverifikasi apakah asli masyarakat setempat atau bukan.
Nah, dalam melihat dengan kacamata Boyolali ini, tentu saja yang bisa dipegang adalah suara yang lebih banyak muncul sebagai reaksi atas stigma negatif diberikan salah satu capres itu terhadap mereka. Kebanyakan warga setempat menolak pelecehan dan penghinaan itu. Sebab bagi mereka, nama daerah mereka adalah harga diri mereka.
Disayangkan karena bagi jurkamnas Prabowo-Sandi, hanya mau melihat dengan kacamata sendiri, dan masih terlalu pongah dalam memahami apa yang lebih dalam dirasakan oleh masyarakat setempat.
Ditambah lagi, mereka memainkan narasi bahwa gejolak yang sempat muncul pasca-pidato Prabowo yang menyebut--dengan bahasa sederhana--bahwa hotel-hotel Jakarta tidak pantas dimasuki orang Boyolali hanyalah karena hasutan pihak lawan politik mereka.Â
Di sinilah terlihat mereka hanya mengambil pola pikir biner, antara kami dan mereka, kawan atau lawan. Ketika sebuah pandangan menyeruak, langsung saja mereka melemparkan kesalahan kepada siapa saja bahwa mereka tersebut adalah lawan.
Di sinilah buruknya narasi yang menjadi pegangan kubu Prabowo-Sandi.
Tidak jauh berbeda juga ketika mereka merespons pembohongan publik yang menempatkan Ratna Sarumpaet sebagai aktor utama. Bahkan saat mereka sendiri belum memverifikasi secara sahih, bahkan sudah melemparkan kesalahan kepada lawan politik mereka sebagai pelaku penganiayaan seorang perempuan berusia 70 tahun.
Terlihat mereka memang sangat piawai dalam memainkan emosi publik, memunculkan perdebatan, hingga memunculkan riak dan gelombang. Sedangkan mereka sendiri hanya bermain di atas gelombang itu untuk bisa menuju ke gelombang terbesar yang diyakini bisa melempar mereka ke tempat yang diinginkan.Â
Mereka nyaris tak menggubris bagaimana jika riak itu menjadi gelombang, dan gelombang besar kemudian menghantam siapa saja. Mereka tak peduli bahwa bermain-main dengan gelombang seperti itu dapat saja memakan korban, karena tak semua orang mampu berenang bersama gelombang ini.