Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Lion Air dan OOC 2018, Bagaimana Mental Kita?

29 Oktober 2018   13:31 Diperbarui: 29 Oktober 2018   14:03 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musibah bukan untuk membuat negeri ini berhenti - Gbr: Lampungpro.com

Ada dua peristiwa besar terjadi hari ini: jatuhnya pesawat Lion Air dan pembukaan acara Our Ocean Conference 2018 (OOC 2018) di Bali. Tanah Air dibalut duka, dan di sisi lain harus tetap menunjukkan geliat sebagai negara yang harus menghadapi banyak tantangan.

Peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air itu sendiri hanya selisih hitungan sekian puluh menit dengan keberangkatan Presiden Joko Widodo ke Bali. Presiden Jokowi sendiri berangkat melalui Bandara Halim Perdanakusuma dan baru lepas landas sekitar pukul 07.20. Sedangkan Lion Air JT-610 yang jatuh tersebut lepas landas pukul 06.10.

Sedikitnya, pemandangan ini cukup mewakili kondisi Indonesia sendiri, betapa cobaan demi cobaan dan langkah demi langkah diambil pemerintah untuk Tanah Air, tidak mudah. Ya, seperti bagaimana dekatnya keberangkatan Presiden Jokowi dengan musibah yang menimpa Lion Air JT-610.

Di sini, kita tidak perlu membenturkan antara dua kejadian tersebut. Bahwa di media sosial ada saja yang latah melempar narasi bahwa di tengah berbagai cobaan seolah langkah yang tepat adalah meratapi cobaan. Namun pikiran yang perlu dikembangkan adalah tetap menularkan semangat dan optimisme.

Musibah yang menimpa Lion Air, tak bisa ditampik sudah menjadi duka nasional. Bukan lagi duka maskapai yang kehilangan awak dan aset mereka sendiri. Bukan lagi sekadar duka keluarga yang ditinggalkan. Musibah itu sudah menjadi duka siapa saja, sebagai orang Indonesia.

Namun ada yang perlu digarisbawahi di tengah dinamika itu adalah apa pun yang terjadi, yang dibutuhkan adalah orang-orang yang mampu menguasai diri, dan bekerja. Itu diperlihatkan aparat terkait dan tim yang bertugas untuk melakukan penyelamatan. 

Begitu mendengar kabar bahwa pesawat Lion Air tersebut hilang dan belakangan diketahui jatuh, yang mereka lakukan adalah melakukan apa yang bisa dilakukan: menemukan lokasi di mana pesawat jatuh dan mengerahkan kekuatan untuk mengambil berbagai langkah diperlukan.

Di sini, yang dibutuhkan adalah dukungan, terutama moril. Sebab mereka yang sedang bekerja mencari bangkai pesawat hingga berusaha melakukan evakuasi memang membutuhkan dukungan semangat dan sejenisnya.

Kenapa ini perlu digarisbawahi lantaran sudah beberapa kali terjadi, ketika Tanah Air dilanda duka ada saja yang meriuhkan dengan hal-hal yang kontraproduktif dan cenderung mengusik.

Belum lama, saat bencana menimpa Sulawesi Tengah, media sosial dan pemberitaan sempat digaduhkan dengan pernyataan-pernyataan beberapa tokoh politik yang cenderung membenturkan. Contoh konkret, ada yang membenturkan musibah Sulteng dengan kegiatan Annual Meetings IMF-World Bank di Bali.

Eloknya, kedua hal itu tak perlu diributkan atau direcoki dengan hal-hal yang tidak perlu. Toh, bencana itu sendiri tak bisa diramalkan kapan akan terjadi, sementara kegiatan yang berhubungan dengan event positif untuk mengangkat nama negara memang sudah direncanakan jauh-jauh hari dan negara sudah mengeluarkan biaya tidak sedikit.

Lebih jernih

Sederhananya, di tengah kemelut seperti itu, publik membutuhkan sudut pandang yang dapat membantu mereka melihat dengan terang, jernih, dan tidak dikaburkan dengan isu-isu yang hanya menggelapkan persoalan. 

Begitu juga dengan kejadian Lion Air pagi hari ini, Senin 29 Oktober 2018, yang memang berlangsung persis dengan hari pertama kegiatan Our Ocean Conference 2018. Gelagat untuk membenturkan kedua hal ini sempat muncul, terlebih karena ada salah satu politikus dari salah satu partai melempar rumor bahwa musibah demi musibah dikaitkan dengan isu politik, mengangkat satu pihak dan menjatuhkan pihak lain.

Etika dalam melihat musibah dan menanggapi usaha negara untuk menemukan jalan demi jalan agar negeri ini dapat bangkit dan melejit, sama-sama membutuhkan dukungan positif agar dapat menghasilkan tindakan positif. 

Dok: Kuwera.id
Dok: Kuwera.id
Hari ini, di Bali, memang sedang ada perhelatan negara di mana Indonesia kembali dipercaya sebagai tuan rumah untuk sebuah diskusi lintas-negara terkait isu internasional yang berkaitan dengan kelautan. Namun ini juga patut dilihat sebagai usaha bahwa di tengah berbagai tantangan hingga cobaan, negeri ini tak hanya memiliki penduduk ratusan juta orang, namun juga punya banyak tangan yang mampu mengurus berbagai persoalan.

Ini juga terungkap dari pernyataan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan di acara OOC 2018. 

Laut bukan menjadi pemecah
Laut adalah pemersatu
Pemersatu jarak antara darat
Pemersatu berbagai peradaban anak manusia

Sederet kalimat puitis ini mungkin tidak lantas menjadi obat untuk duka. Paling tidak, ini bisa menjadi pesan optimistis, bahwa apa yang terjadi, mesti ada nilai baik yang penting ditonjolkan dan diambil.  Ada pesan persatuan di sana, bahwa ketika ada masalah, apa yang dibutuhkan adalah persatuan. 

Bahwa kalimat Jokowi tersebut berangkat dari perenungan sebagai pemimpin di negeri bahari, lebih bertema lautan, namun ada pesan universal di sini. Dalam segala situasi, mental positif sebagai orang Indonesia mesti tetap ditonjolkan. 

Manifestasi pesan ini semestinya juga terlihat dari reaksi kita sebagai bangsa, sejauh mana mampu mengedepankan sikap positif bahkan saat ditimpa situasi di luar harapan.

Soal musibah, negara sudah punya alat untuk melakukan apa yang dibutuhkan. Maka itu, di tengah kondisi itu, kegiatan-kegiatan lain yang membawa nama negara pun sudah ada tangan yang mengurusnya.

Membenturkan kedua hal itu tentunya bukanlah hal yang etis. Sebab, di tengah cobaan apa saja, tidak diskenariokan Tuhan agar membuat makhluknya berhenti atau berjalan di tempat. Dia tetap memberikan nyawa, napas, pikiran, dan kelengkapan tubuh untuk tetap bergerak melakukan apa saja yang lebih baik dan semakin baik, hingga membawa kebaikan lebih jauh.

Hemat saya, di tengah kondisi ini juga kita bisa memperlihatkan bagaimana mental kita sebagai bangsa. Bahwa kita bukanlah bangsa yang langsung tumbang dengan pukulan, namun masih bisa berjalan hingga berlari ke titik-titik lebih jauh ke depan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun