Tak mudah menjadi seorang dokter. Tidak heran jika seorang dokter cenderung sangat dihormati masyarakat, karena profesi mereka yang dianggap mulia. Juga tidak berlebihan jika kemudian ada Hari Kedokteran Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 Oktober. Menjadi berlebihan hanya jika status sebagai dokter menjadi alat untuk membohongi publik atau menyesatkan.
Belum lama, negeri ini digaduhkan dengan cerita perempuan berusia sepuh yang mengaku dianiaya di bandara di Bandung. Salah satu sosok yang turut ambil bagian dalam cerita itu justru adalah seorang dokter, tepatnya dokter gigi.Â
Ya, sosok yang mengaku dokter (tidak menyebut spesifik dokter gigi) begitu tegas menyebut bahwa dia sangat paham mana bekas operasi dan mana bekas pukulan adalah Hanum Rais, putri salah satu tokoh nasional, Amien Rais.
Itu tentu saja menjadi sebuah noda yang mengotori kemuliaan nama sebuah profesi. Lebih jauh dari itu, ada dosa yang tidak ringan dalam kacamata manusia--bukan berdasarkan catatan malaikat pencatat amal--karena menyeret nama profesi hanya untuk membuat sebuah pembohongan publik dapat terlihat sebagai sebuah kebenaran.
Dari sikap dokter tersebut, yang terjadi adalah sebagian publik yang memiliki mental piranha--menyantap apa saja yang dilempar ke arah mereka--akan menyantap sebuah isu dengan rakus. Apalagi jika para "piranha" ini meyakini bahwa umpan itu sudah pasti baik sekaligus enak, karena langsung disajikan oleh "ahli pakan".
Siapa yang tidak tergugah, ketika seorang perempuan berbicara, terlebih menguatkan apa yang dia bicarakan dengan kualifikasi sebagai dokter, menegaskan bahwa dirinya bisa membedakan pukulan dengan bekas operasi.Â
Ditambah lagi, ada muatan kalimat yang bernada kutukan terhadap orang yang tidak percaya bahwa itu adalah penganiayaan. Di sanalah perjalanan sebuah isu tentang seorang perempuan yang dipukuli dengan semena-mena sempat menguat meskipun hanya dalam hitungan jam.Â
Kalau saja aparat kepolisian lengah dan lamban bertindak, dapat dipastikan bergulirnya isu ini akan merembet ke mana-mana; fitnah, hasutan, hingga pertumpahan darah dapat saja terjadi.Apakah iya sebuah isu bisa membawa bahaya separah itu? Tidak berlebihankah menyimpulkan begitu?
Silakan saja simak bagaimana sebuah isu yang dilempar oleh orang-orang yang dianggap kompeten dan dapat dipercaya, telah berkali-kali tercatat memicu kericuhan di berbagai negara. Bahkan di dalam negeri, jauh sebelum itu, pada 2017 lalu, ada seorang tunawisma di Brebes, Jawa Tengah, jadi korban penganiayaan.Â
Saat itu warga mendadak emosi karena hoax yang dilempar adalah bahwa sosok tersebut adalah seorang penculik anak. Efek emosi, tunawisma yang notabene tak punya tempat tinggal dan tidak tahu keluarganya di mana, dan tidak bisa minta tolong kepada siapa, jadi korban.
Anda yang sempat mengikuti berita itu tentu belum lupa, karena ada juga beberapa video terkait beredar, bagaimana sadisnya sebuah hoax yang sejatinya merebak awalnya hanya di tingkat kecamatan. Warga menyiksa tunawisma yang tak berdosa, dan bahkan mengaraknya secara sadis dengan kepala di bawah.Â
Sekali lagi, itu baru hoax yang dapat dibilang sebagai hoax kelas kecamatan.Â
Bisa dibayangkan ketika hoax skala nasional berkembang? Ya, jika kelas kecamatan bisa memicu kesadisan seperti itu, bukan mustahil hal-hal lebih sadis dapat terjadi karena pengaruh hoax.
Maka itu, ketika seorang Hanum Rais yang menyeret nama profesi sebagai dokter untuk menguatkan sebuah hoax, dapat disimpulkan bahwa ini adalah sebuah tindakan yang sangat pantas dikecam. Tidak saja karena dia menyeret profesi dokter (meskipun ia adalah dokter gigi), tapi karena ada kecenderungannya untuk menyeret publik ke dalam sebuah penyesatan.
Apalagi dia sendiri menegaskan bahwa dirinya sangat memahami mana bekas penganiayaan dan mana bekas operasi, ada semacam iktikatnya untuk membantah usaha kalangan lain yang berusaha menjernihkan dan meyakinkan bahwa itu adalah hoax. Ada kecenderungannya untuk mengaburkan masalah operasi agar terlihat sebagai penganiayaan. Namun yang perlu digarisbawahi dari semua itu adalah bagaimana kita sebagai masyarakat untuk tidak cepat tergiur dengan pernyataan seseorang yang yang menggiring untuk lahirnya kesimpulan-kesimpulan negatif. Sebab, saat sebuah kesimpulan negatif muncul, alih-alih bisa melahirkan hasil positif, yang ada justru membangkitkan hal negatif lainnya lebih banyak.
Terbukti bukan? Bagaimana hasil dari isu tersebut yang dikuatkan dengan konferensi pers Prabowo Subianto yang notabene sebagai wakil presiden, hingga pembenaran yang dilakukan oleh Hanum Rais yang menyeret nama dokter, sempat memantik kemarahan publik. Kemarahan itu tidak hanya menular dalam satu kalangan (kubu Prabowo), melainkan tak sedikit pendukung lawan politik mereka pun turut teradiasi oleh narasi mereka mainkan.
Jangan sampai karena alasan bahwa polisi adalah alat negara yang berada di bawah seorang presiden--sebagai lawan dari kubu Prabowo--lantas menyimpulkan bahwa kepolisian bermain politik.Â
Mereka bekerja, untuk menegakkan hukum, sekaligus menegakkan kewarasan publik agar tak lagi jadi korban pihak-pihak yang ingin memantik keributan.Begitu juga jika asosiasi dokter gigi mengambil tindakan, tak perlu juga lagi melempar rumor bahwa itu hanya order kekuatan politik atau petahanan. Sebab, dalam kasus Hanum Rais yang turut mengobarkan berkembangnya hoax tersebut, ia juga sudah melecehkan profesi para dokter secara luas--bukan sekadar dokter gigi.
Maka itu, membiarkan kepolisian bekerja sebagaimana mestinya, agar yang bersalah mempertanggungjawabkan kesalahannya, adalah pilihan bijak. Jangan sampai, kita sebagai masyarakat yang menjadi korban pembohongan yang menguras emosi tadi, justru jengkel terhadap pihak yang berusaha membuktikan pembohongan tersebut. Apalagi kalau sampai malah membela pihak yang jelas-jelas telah berusaha melempar kegaduhan dengan pembohongan, dengan hoax, tentu saja ini hanya membuat sekelompok orang yang sedang bekerja menciptakan ketidakwarasan semakin tertawa lebar tanpa peduli bahwa pembohongan bisa berakhir tragis. Salam waras, dan selamat Hari Kedokteran Nasional.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H