Anda yang sempat mengikuti berita itu tentu belum lupa, karena ada juga beberapa video terkait beredar, bagaimana sadisnya sebuah hoax yang sejatinya merebak awalnya hanya di tingkat kecamatan. Warga menyiksa tunawisma yang tak berdosa, dan bahkan mengaraknya secara sadis dengan kepala di bawah.Â
Sekali lagi, itu baru hoax yang dapat dibilang sebagai hoax kelas kecamatan.Â
Bisa dibayangkan ketika hoax skala nasional berkembang? Ya, jika kelas kecamatan bisa memicu kesadisan seperti itu, bukan mustahil hal-hal lebih sadis dapat terjadi karena pengaruh hoax.
Maka itu, ketika seorang Hanum Rais yang menyeret nama profesi sebagai dokter untuk menguatkan sebuah hoax, dapat disimpulkan bahwa ini adalah sebuah tindakan yang sangat pantas dikecam. Tidak saja karena dia menyeret profesi dokter (meskipun ia adalah dokter gigi), tapi karena ada kecenderungannya untuk menyeret publik ke dalam sebuah penyesatan.
Apalagi dia sendiri menegaskan bahwa dirinya sangat memahami mana bekas penganiayaan dan mana bekas operasi, ada semacam iktikatnya untuk membantah usaha kalangan lain yang berusaha menjernihkan dan meyakinkan bahwa itu adalah hoax. Ada kecenderungannya untuk mengaburkan masalah operasi agar terlihat sebagai penganiayaan. Namun yang perlu digarisbawahi dari semua itu adalah bagaimana kita sebagai masyarakat untuk tidak cepat tergiur dengan pernyataan seseorang yang yang menggiring untuk lahirnya kesimpulan-kesimpulan negatif. Sebab, saat sebuah kesimpulan negatif muncul, alih-alih bisa melahirkan hasil positif, yang ada justru membangkitkan hal negatif lainnya lebih banyak.
Terbukti bukan? Bagaimana hasil dari isu tersebut yang dikuatkan dengan konferensi pers Prabowo Subianto yang notabene sebagai wakil presiden, hingga pembenaran yang dilakukan oleh Hanum Rais yang menyeret nama dokter, sempat memantik kemarahan publik. Kemarahan itu tidak hanya menular dalam satu kalangan (kubu Prabowo), melainkan tak sedikit pendukung lawan politik mereka pun turut teradiasi oleh narasi mereka mainkan.
Jangan sampai karena alasan bahwa polisi adalah alat negara yang berada di bawah seorang presiden--sebagai lawan dari kubu Prabowo--lantas menyimpulkan bahwa kepolisian bermain politik.Â
Mereka bekerja, untuk menegakkan hukum, sekaligus menegakkan kewarasan publik agar tak lagi jadi korban pihak-pihak yang ingin memantik keributan.Begitu juga jika asosiasi dokter gigi mengambil tindakan, tak perlu juga lagi melempar rumor bahwa itu hanya order kekuatan politik atau petahanan. Sebab, dalam kasus Hanum Rais yang turut mengobarkan berkembangnya hoax tersebut, ia juga sudah melecehkan profesi para dokter secara luas--bukan sekadar dokter gigi.
Maka itu, membiarkan kepolisian bekerja sebagaimana mestinya, agar yang bersalah mempertanggungjawabkan kesalahannya, adalah pilihan bijak. Jangan sampai, kita sebagai masyarakat yang menjadi korban pembohongan yang menguras emosi tadi, justru jengkel terhadap pihak yang berusaha membuktikan pembohongan tersebut. Apalagi kalau sampai malah membela pihak yang jelas-jelas telah berusaha melempar kegaduhan dengan pembohongan, dengan hoax, tentu saja ini hanya membuat sekelompok orang yang sedang bekerja menciptakan ketidakwarasan semakin tertawa lebar tanpa peduli bahwa pembohongan bisa berakhir tragis. Salam waras, dan selamat Hari Kedokteran Nasional.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H