Ada perasaan berbeda saat tengah pekan lalu saya menghadiri acara yang bercerita tentang keadaan di Sigi, Palu, dan Donggala. Pasalnya, tepat di depan mata saya berdiri salah satu awak Pertamina yang juga baru kembali dari lokasi gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.Â
Masih terlihat jejak-jejak kelelahan di wajahnya, dari kulit yang tak lagi selayaknya "orang kantoran" di perusahaan bonafide, hingga sorot mata yang menegaskan bahwa ia telah cukup menguras energi di lokasi bencana yang terjadi di pengujung September lalu.
Ya, sosok tersebut memang baru saja menguras energi fisiknya bersama ratusan relawan lainnya yang terjun langsung untuk membantu para korban di lokasi bencana. Ia mengerahkan tenaga hanya agar Sulteng kembali bertenaga.Â
Membawa energi agar duka korban bencana lekas terhapus dan mereka dapat bangkit lagi. Kelelahan yang terlihat darinya juga mewakili kelelahan para relawan yang telah terjun ke medan yang baru ditimpa bencana.
Sosok tersebut adalah Arya Dwi Paramita. Orang Pertamina yang juga memiliki posisi sebagai External Communication Manager di perusahaan BUMN tersebut adalah salah satu yang sempat melihat langsung lokasi bencana, merasakan kesulitan untuk menembus lokasi, sampai dengan berusaha bagaimana agar bantuan yang dibutuhkan dapat tersalurkan dengan baik.
"Kami memang harus bergerak cepat, terutama dalam menyalurkan BBM. Bagi kami, energi adalah prioritas, karena memang ini dibutuhkan untuk banyak hal,"Â Arya bercerita di depan sekitar 50 penulis kompasiana (Kompasianer).
Saya pribadi dapat mengatakan begitu karena saat bencana gempa dan tsunami menimpa daerah saya berasal, Aceh, melihat dan merasakan langsung  kondisi yang lebih kurang mirip dengan yang menimpa Sulteng. Dari bagaimana kesulitan yang terjadi hanya karena kesulitan menemukan bahan bakar, sampai bagaimana sulitnya proses distribusi dari satu lokasi ke lokasi lain.
Maka itu saat sosok Arya bercerita tentang keruwetan dihadapi pihaknya saat melakukan berbagai upaya agar bantuan yang disiapkan Pertamina bisa tiba di lokasi, sekaligus melemparkan ingatan saya pada kondisi mirip di Aceh, 14 tahun silam.
 Ya, saat-saat Aceh tertampar oleh sejarah di mana 120.000 orang tewas dan lebih dari 90.000 orang hilang.Ya, situasi bencana, terlepas di mana saja, dapat dikatakan sama saja. Bukan soal bencana mana yang lebih dahsyat daripada bencana lainnya, tapi kepanikan, kesulitan, hingga bagaimana bisa memenuhi kebutuhan mendesak sama-sama menjadi bagian warna yang tak terpisahkan dari sana.
Anak-anak dapat menangis di malam hari karena mereka harus tidur di tempat seadanya; bekas gedung runtuh, halaman-halaman perkantoran yang hanya dipasangi tenda dari bahan yang juga seadanya. Mereka terkadang meringkuk di alas yang juga apa adanya, dan saat lapar pun ayah ibu mereka takkan seleluasa biasa untuk bisa memenuhinya.
"Keadaan di lokasi bencana memang tak segampang apa yang dibayangkan banyak orang," kata Arya saat bercerita bagaimana Pertamina sejak hari pertama bencana Sulteng terjadi, bergerak cepat untuk memetakan situasi di lokasi hingga mencari jalan untuk bisa mengirim bantuan. Tidak sekadar memikirkan BBM yang memang menjadi prioritas, tapi juga menyiapkan berbagai hal lainnya.
Belum lagi karena medan yang harus ditempuh, selayaknya lokasi bencana, membutuhkan cara yang tak biasa. "Tim kami bahkan menghabiskan waktu 30 jam di perjalanan untuk bisa menembus ke lokasi," cerita Arya, menggambarkan sebagian pengalamannya selama berada di lokasi bencana.
Pertamina pantas diapresiasi. Mereka terbilang mampu bergerak cepat terlepas ada pemberitaan miring yang sempat bermunculan. Ada catatan bagaimana mereka menyalurkan 164 ribu tabung LPG yang berasal dari empat SPPBE di Sulwesi Tengah, hingga 12 Oktober 2018. Jika dirupiahkan, bantuan yang digelontorkan BUMN tersebut mencapai 29,7 miliar, sebagian bagian aksi bertajuk "Pertamina Peduli".Â
Bagi yang pernah merasakan bencana mirip ini, takkan asing dengan gebrakan yang dilakukan Pertamina dan gerakannya untuk menghadapi situasi tersebut. Mengilas balik pada apa yang terjadi di Aceh pada 2004 lalu, saat dua depot Pertamina di Banda Aceh dan Meulaboh luluh lantak, bahan bakar dalam kondisi genting, mereka pun menunjukkan gerak cepat yang pantas dicatat, sebagai apresiasi. Â Pasalnya, hanya dalam hitungan hari, mereka mampu memberikan jawabannya.Â
Seperti diketahui, gempa dan tsunami Aceh sendiri terjadi pada 26 Desember 2004, namun pada 28 Desember Pertamina telah berhasil memasok sebanyak ratusan liter BBM ke Lhokseumawe dan Banda Aceh.Â
Walaupun saat itu, untuk menyalurkan ke Meulaboh dan Calang sekitarnya jauh lebih rumit, karena jalanan banyak yang putus--medan di sana, untuk lintas provinsi dan kabupaten, jalanan banyak berada di sisi pantai.
Tak jauh berbeda dengan saat gempa dan tsunami di Sigi, Donggala, dan Palu terjadi. Meskipun membutuhkan waktu, paling tidak, per 3-5 Oktober 2018, atau hanya berselang tidak sampai sepekan, mereka telah mengirimkan hingga 11 juta liter BBM. Walaupun untuk Sulteng pun harus menggunakan berbagai cara, termasuk memanfaatkan kapal tanker melalui jalur laut dari Balikpapan, Kalimantan Timur.
Patut juga dicatat, dari bantuan yang dikirimkan Pertamina juga terdapat 154 relawan operator SPBU dan 39 relawan operator SPPBE, terutama saat masa pemulihan berlangsung. Selain itu, per 12 Oktober 2018, mereka sudah mengoperasikan lagi hingga 95 persen SPBU. Bahkan sejak 9 Oktober 2018, mereka sudah mengoperasikan 10 SPBU 24 jam.
Terutama dalam penyaluran LPG (Elpiji), mereka menyalurkan hingga 441 tabung gas Bright Gas 12 kg, selain juga terdapat 70 tabung gas Elpiji 50 kg di Posko Bantuan Pertamina Peduli.
Posko itu sendiri, menurut cerita Arya, didirikan di Terminal Bahan Bakar Minyak Donggala, selain juga Depot Pengisian Pesawat Udara Mutiara. Dalam penyaluran bantuan itu sendiri, mereka juga melibatkan KRI Makassar, dari hari ketiga sejak bencana terjadi, atau pada Minggu malam (30/9/2018).
Dalam masa pemulihan itu, langkah cepat yang diupayakan BUMN itu patut digarisbawahi, bahwa mereka tak menggubris persoalan rumitnya medan, namun mampu memfokuskan pada bagaimana cara agar bantuan tetap dapat tersalurkan. Maka itu, dalam proses pemulihan itu, 89 juta liter BBM untuk industri pun telah mereka salurkan, agar geliat roda ekonomi industri kawasan itu tetap dapat hidup lagi lebih cepat.
Tak berlebihan kiranya jika sepak terjang BUMN tersebut mendapatkan apresiasi dari beberapa media. Sebut saja KATADATA menobatkan Pertamina sebagai salah satu dari empat perusahaan BUMN yang mampu bergerak cepat dalam penanganan bencana di Palu, Sigi, dan Donggala.
Terlebih lagi, ketersediaan energi sangat dibutuhkan terutama solar di Rumah Sakit, PLN dan tentu saja Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD). Sebab sudah dapat dipastikan, para pasien Rumah Sakit takkan dapat ditangani dengan baik tanpa penerangan dan pasokan listrik memadai. Sedangkan untuk listrik itu sendiri pun membutuhkan bahan bakar.Â
Merujuk rilis PERTAMINA, BBM jenis Solar memang dibutuhkan untuk mendukung operasional rumah sakit, salah satunya RS Undata Palu yang tidak hanya menangani pasien sakit, tetapi juga korban gempa.Â
Patut dicatat, di RS Undata terdapat lebih dari 200 korban gempa dan tsunami. Sebagian besar pasien tersebut menderita patah tulang yang terdiri dari pasien dewasa, anak-anak, dan beberapa pasien ibu hamil.
Selain, RS Undata, Pertamina juga telah mengirimkan BBM yakni Solar 2 ribu liter dan Premium 2 ribu liter untuk kebutuhan RS Parigi, melalui depot Poso.
"Kami berkoordinasi untuk mendatangkan mobil tangki industri. Saat ini sudah disalurkan 1500 liter untuk RS Undata Palu, 2000 liter untuk Kantor PLN Area Palu dan 5000 liter disalurkan ke Posko Basarnas Palu," kata Unit Manager Communication & CSR Marketing Operation Region VII Roby Hervindo, melansir rilis yang sempat dikirimkan pihaknya ke berbagai media.
Begitu juga pasokan solar untuk genset raksasa milik PLN guna memulihkan pasokan listrik di sebagian wilayah Donggala dan Palu. Pertamina telah menyuplai kebutuhan PLN ke PLTD Topoyo dan PLTD Pasangkayu di Sulbar, dengan mekanisme alih suplai dari Pare-pare. Sementara suplai ke PLTD Siboang di Sulteng, dipasok dari Toli Toli.
"Untuk PLTD lain di Palu, kami akan terus koordinasikan dengan PLN wilayah Sulutenggo untuk pengambilan BBM dari depot terdekat seperti Toli Toli, Poso dan Gorontalo," ujar Roby.Â
Tidak itu saja, Pertamina juga bekerja untuk melakukan pengisian ke Kapal SAR kendari sebangak 20 ribu liter via TBBM Poso untuk kebutuhan penanganan bencana.Â
"Kami mengupayakan seluruh pihak bisa mendapatkan pasokan solar, namun tetap prioritas pada layanan kemanusiaan, agar penanganan korban dan pemulihan pasca gempa teratasi," kata Roby, saat itu.
Kesigapan tersebut tentu saja tidak lahir begitu saja. Ada yang menarik dari sini adalah gagasan yang menjadi sistem yang menjadi pegangan bagi Pertamina hingga bisa bergerak cepat. "Kami punya yang namanya sistem RAE atau regular, alternative, and emergency, untuk menghadapi situasi seperti bencana yang terjadi di Sulteng," Arya sempat menceritakan sistem tersebut.
Mengulik dari berbagai sumber, sistem RAE tersebut adalah sistem perencanaan yang diciptakan secara berlapis sebagai alternatif, sehingga di dalam bermacam keadaan  di luar keadaan normal. Sistem itu sendiri memang digagas untuk dapat mengamankan pasokan energi untuk lokasi bencana. Sehingga, dalam kondisi darurat, kebutuhan terhadap energi dapat tersalurkan dengan lebih baik. Maklum, energi sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat umumnya hingga kehidupan industri yang ada.Â
Ya, jangankan sebuah daerah bencana, tubuh pun membutuhkan energi untuk bergerak hingga meneruskan hidup dan meraih mimpi-mimpi yang lebih baik daripada yang pernah hilang. Di sana, di tengah-tengah pulau Sulawesi, para relawan telah menguras energi tubuh mereka sendiri demi Sulawesi kembali berenergi, di Sigi, Palu, hingga Donggala.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H