Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Ratna dan Bencana, Kita Bisa Bicara di Sana

3 Oktober 2018   20:15 Diperbarui: 3 Oktober 2018   20:20 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaduh di media sosial, jangan lupakan Palu dan Donggala - Gbr: BBC

Ada keharuan membuncah di batin saya, saat satu cuitan berbentuk thread mendapatkan respons tinggi. Cuitan bertanggal 1 Oktober itu mendapatkan retweet alias cuitan ulang hingga 5 ribu lebih dalam tiga hari. Sepanjang bermedia sosial, ini menjadi cuitan paling menyentuh bagi saya.

Kenapa? Lantaran dari sini saya merasa bisa turut berperan dari jauh membantu para korban yang sempat menjadi sasaran tuduhan yang bukan-bukan. Itu sempat saya rekam juga di tulisan kecil: Korban Bencana Bukanlah Penjarah.  Itu mengekspresikan empati sekaligus simpati terhadap para korban di Sulawesi Tengah, terutama Palu dan Donggala.

Bagaimana tidak, saat di sana para korban masih berkutat dengan beban berat yang harus mereka pikul, di dunia pemberitaan tak sedikit yang menghantam mereka dari jauh dengan berbagai berita negatif. 

Apalagi saya sendiri pun pernah menyaksikan bagaimana mayat bergelimpangan dan wajah-wajah nestapa di Aceh pada 2004 lalu. Di kampung asal saya sendiri. Maka itu, saat melihat berita buruk tentang mereka di Sulteng, ada perasaan terpanggil untuk membendung berita-berita negatif.

Bagaimana tidak, sejak bencana itu terjadi di daerah yang berada di tengah Pulau Sulawesi itu Jumat 28 September, berbagai berita negatif merusak perhatian publik luar daerah itu. Banyak yang sibuk menggencarkan obrolan tentang politik hingga teranyar bahkan ada yang melakukan pembohongan publik, yang lagi-lagi membetot perhatian banyak massa. Sedikit yang menyuarakan apa saja perkembangan di lokasi bencana.

Padahal, Palu dan Donggala, seperti halnya Lombok masih membutuhkan perhatian besar dari semua pihak. Sayangnya, hiruk pikuk politik dengan segala intrik sempat membuyarkan perhatian itu, dan teralihkan dari fokus ke lokasi-lokasi bencana itu.

Sebut saja kasus Ratna Sarumpaet yang menghebohkan media sosial yang mengaku dipukuli dan dikeroyok di Bandung. Hampir seisi penghuni jagat maya tersita perhatian ke sana. Kian sedikit yang mau melirik korban bencana, dan apa yang bisa dilakukan untuk mereka di sana.

Sangat disayangkan lagi, di tengah situasi itu juga, salah satu calon presiden bahkan ikut-ikutan mengalihkan perhatian dari bencana Palu dan Donggala. Prabowo Subianto bahkan sempat mengumpulkan para wartawan hanya untuk menyebarkan kebohongan bahwa Ratna Sarumpaet telah dianiaya. Bahkan oleh lingkarannya, isu itu dipelintir sebagai perlakuan kejam lawan politik mereka terhadap perempuan.

Itu juga yang membuat saya terusik hingga menuliskan kalimat yang dianggap sarkas; "Presiden ke lokasi bencana agar perhatian negeri ini tertuju ke sana, calon presiden malah menebar dusta (baca: hoaks) untuk membuat perhatian negeri ini hanya tertuju kepadanya."

Pasalnya, saat Palu dan Donggala sedang membutuhkan perhatian, capres tersebut justru mencuri perhatian publik agar tertuju kepadanya dan kalangannya. Bermunculan cerita bahwa ada perempuan yang dianiaya, bersambung dengan agitasi dan berbagai hasutan.

Tragis, karena dalam pembohongan publik ini melibatkan seorang calon presiden yang notabene, jika ia kelak bisa menaklukkan lawan politiknya, akan menjadi presiden. Di saat di mana seharusnya ikut mengerahkan apa yang ia bisa agar korban bencana jadi perhatian, dia justru menjadikan dirinya dan kalangannya sebagai pusat perhatian.

Hal-hal inilah yang juga membuat saya pribadi tergelitik, hingga melawan permainan narasi seperti itu. Tak terkecuali ketika mereka memainkan isu rutin di pengujung September, G-30-S/PKI, saya pribadi berusaha bercerita tentang korban bencana. 

Di akun Twitter saya pribadi memang sedang dibanjiri hujatan atas saya sendiri karena berkaitan dengan thread sebelumnya yang bernada kritikan terhadap Orde Baru dan film Gestapu. Ada serangan terbilang luar biasa hingga ada yang menuding saya sebagai PKI. 

Tidak mudah mengalihkan pikiran dari hujatan atas cuitan yang sejatinya berisi ajakan ketika menerima suatu doktrin, jangan sampai nalar seperti mesin kehabisan bensin. Syukurnya, di tengah hujatan itu, perhatian saya tertuju kepada pemberitaan terhadap korban bencana di Sulawesi yang marak membicarakan isu penjarahan.

Di sini dibutuhkan empati. Sebab mereka di lokasi bencana tidak punya waktu banyak untuk membuka media sosial atau berbicara kepada media, untuk melawan berbagai tudingan. Di sinilah saya menguji empati saya, apa yang bisa saya lakukan.

Sebab, meskipun saya sendiri tak jauh-jauh dari lingkaran politik, namun tergelitik atau bahkan geli jika di tengah situasi bencana pun cuma berbicara politik.

Toh, Jokowi saja tak melulu bicara politik, dan bahkan dia sempat mengimbau agar pendukungnya tidak dulu berkampanye. Itu seorang presiden bisa menahan diri, masak saya yang bukan siapa-siapa ini ikut-ikutan bicara politik melulu.

Mencubit diri sendiri seperti itu membawa manfaat juga akhirnya. Alhasil, lahirlah cuitan yang mampu membawa dampak kepada publik di jagat media sosial. Banyak yang berterus terang menyesali, bagaimana mereka pun sempat berburuk sangka terhadap korban gara-gara isu penjarahan. Tak sedikit juga yang membagikan cuitan itu, berupa link atau bahkan screenshoot dari cuitan tersebut.

Bagi saya ini pemandangan menarik. Bukan saja karena jarang-jarang bisa mendapatkan reaksi serius dari publik, tetapi perhatian pengguna media sosial dapat dikembalikan ke persoalan bencana yang memang jauh lebih membutuhkan perhatian. Apalagi, Jokowi yang seorang Kepala Negara saja, hanya berselang beberapa hari sudah dua kali ke lokasi bencana. Lha, kita? 

So, media sosial sekarang ini bisa menjadi satu alat bantu juga di tengah bencana. Jika Presiden turun ke lokasi agar masalah di sana jadi perhatian semua rakyat di negeri ini, apalagi kita yang rakyat biasa yang bisa kapan saja juga dapat menjadi korban bencana yang tidak pernah dapat kita terka.

Apalagi orang-orang semacam saya yang sering dikira "kurang kerjaan", karena sering dianggap tidak punya banyak kesibukan, masak kalah dari Kepala Negara untuk bisa melakukan sesuatu. Setidaknya suarakanlah tentang apa yang menjadi kebutuhan mereka di lokasi bencana. Obati luka mereka, meskipun hanya lewat media sosial yang sehari-hari hampir tak pernah jauh dari kita.

Jangan tunggu harus mengalami bencana seperti saya di Aceh dulu untuk bisa menyuarakan bencana. Suarakan mereka kapan saja, walaupun sekadar di media sosial, setidaknya bisa menggugah perhatian dan nurani banyak orang: bahwa korban bencana butuh banyak tangan meskipun mereka bukan peminta-minta.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun