Jika menyimak perbincangan yang viral di berbagai media sosial pun, kian meyakinkan bahwa HTI telah menjadi senjata bagi sebuah kekuatan politik untuk memburu simpati dan perhatian publik. Bagi elite politik, terlepas sebagian mereka dari kalangan nasionalis, namun keberadaan isu terkait organisasi itu adalah sebuah alat bantu penting untuk menghantam pemerintah.
Terlebih lagi pemerintah pun terbilang "terlalu ramah". Setidaknya di berbagai media sosial, beberapa figur publik yang memainkan isu dan narasi yang berisiko memunculkan perpecahan itu--berupa tuduhan bahwa pemerintah memusuhi Islam--masih aman-aman saja mengembuskan isu tersebut.
Bahkan mereka--sebagian besar adalah kubu oposisi atau simpatisan--berusaha mengaburkan ancaman HTI dengan meniupkan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Sementara jamak diketahui, PKI sendiri sudah jauh-jauh hari masuk ke dalam kuburannya. Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menandai "kematian" organisasi komunis itu masih berlaku.
Maka itu, sejatinya posisi PKI dan HTI dapat dikatakan setara, karena memang keduanya sama-sama tidak mendapatkan izin lagi dari negara. Sayangnya, permainan segelintir elite politik, cenderung mengajak melihat satu sisi saja. Mereka memunculkan kesan bahwa yang memusuhi HTI adalah PKI, dan ini masih terus digaungkan di berbagai media sosial.
Bahkan belakangan, peniup isu tersebut kian berani saja, dan bahkan ada beberapa yang melemparkan framing bahwa pendukung pemerintah sama saja sebagai pendukung PKI. Lagi-lagi, peniup isu tersebut yang beredar di berbagai media sosial, misalnya, masih bisa melakukan pekerjaan mereka dengan aman-aman saja.Â
Sekilas dapat dipahami bahwa pemerintah ingin bersikap agar tidak ada tindakan-tindakan berlebihan, meskipun tuduhan-tuduhan itu sendiri sudah sangat melampaui batas. Tindakan tegas pemerintah dapat saja menjadi senjata sebagian elite politik mengembuskan isu seperti yang getol muncul akhir-akhir ini, bahwa pemerintah represif hingga diktator.
Padahal, jika dilihat lagi lebih jauh, membiarkan peniup isu yang membodohi masyarakat sama saja memberikan keleluasaan kepada kalangan yang terlalu haus kekuasaan untuk menghancurkan negeri ini. Sebab isu-isu itu terbukti mampu memantik emosi, kemarahan, kejengkelan, dan berbagai sikap yang berpotensi membawa bahaya. Jika emosi itu makin membesar, dapat saja suatu waktu nanti akan menjadi api yang terlalu sulit untuk dikendalikan.
Sebab, bukan rahasia lagi jika emosi sudah terlalu membuncah, maka nalar dan pikiran jernih justru musnah. Anda mungkin belum lupa, bagaimana baru-baru ini seorang remaja yang mendukung satu tim sepak bola pun bisa dibunuh secara keji. Hanya berbeda klub sepak bola saja bisa melahirkan kekejian seperti itu. Sekarang bayangkan dengan makin leluasanya narasi-narasi yang justru menutup-nutupi bahaya HTI, dan membawa-bawa dongeng PKI, yang bisa memantik emosi, apakah bisa menjamin kekejian seperti itu takkan terjadi?Â
Kita berharap, sudahlah HTI dan PKI sama-sama sudah mati. Sekarang yang diperlukan adalah menghidupkan pikiran jernih dan kemauan politik yang mencerdaskan. Perbedaan politik semoga tidak menjadi alasan untuk saling hantam hingga masyarakat awam pun ikut-ikutan main hantam. Cukuplah organisasi-organisasi yang berpotensi merusak untuk tidak hidup lagi, namun cinta untuk negeri ini dan penghuninya tetap hidup.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI