Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilpres, Antara Kekuatan Taipan dan Perang Identitas

17 September 2018   21:43 Diperbarui: 18 September 2018   04:58 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ditanya mana lebih menarik antara uang atau agama, kemungkinan akan banyak menghindar untuk menjawabnya. Namun jika melihat riilnya, uang tetap jauh lebih menarik. Setidaknya itu juga tergambar dari kasus terdekat, ketika sekelompok orang mengatasnamakan ulama merekomendasikan beberapa nama untuk diangkat sebagai calon wakil presiden, namun salah satu calon presiden justru memilih nama lain: Sandiaga Uno.

Di sini Prabowo Subianto sebagai salah satu capres yang lagi-lagi akan berkontestasi pada Pilpres 2019 menunjukkan kehebatannya. Ya, bagaimana tidak dikatakan hebat, jika dengan pengingkarannya terhadap rekomendasi ulama, namun ulama-ulama tadi tetap tidak beranjak dari sekelilingnya. Ia bisa membuat ulama-ulama tadi tetap tak bisa lepas darinya meskipun mereka sempat menunjukkan perasaan sakit hati.

Di sini juga Sandi menunjukkan kehebatannya. Dengan reputasi dimilikinya sebagai pengusaha, dengan kekayaan yang sudah diketahui umum, tak terusik meskipun ada beberapa ulama yang mengaku tersinggung saat Prabowo justru memilihnya alih-alih menerima rekomendasi mereka. Sandi tetap tidak tergoyahkan, dan belakangan dinyatakan resmi sebagai pasangan Prabowo yang akan berlaga di Pilpres tahun depan.

Unik. Sebab ulama-ulama yang tadinya mengaku tersinggung, akhirnya tak kuasa menolak kehadiran Sandi.

Apakah itu semata-mata karena alasan uang yang dimiliki oleh Sandi? Belum tentu benar juga. Namun hampir menjadi kebenaran bahwa uang bisa meluluhkan apa saja, melumpuhkan apa pun, menundukkan siapa pun. 

Hampir menjadi kebenaran, karena di tengah meraksasanya setan pada lembaran-lembaran uang, masih terdengar cerita sayup tentang pribadi-pribadi tangguh yang masih mementingkan mimpi-mimpi yang berada di atas uang.

Apakah dengan keberadaan Erick Thohir di kubu Joko Widodo bukan sebagai petunjuk bahwa kedua kubu yang akan bertarung di Pilpres nanti sama saja? Toh, mereka sama-sama memainkan dua senjata andalan: agama dan juga uang. Ulama dan pengusaha.

Di atas kertas, begitulah adanya. Bahwa politik memang membutuhkan logistik, dan logistik cenderung membantu memuluskan segala taktik. Ibarat sepak bola, pertandingan normalnya, tak hanya satu kubu saja yang memainkan kiper sementara kubu lainnya merasa tidak membutuhkan kiper.

Pertanyaannya, kan, apakah kedua kubu sudah memilih kiper, gelandang, hingga penyerang dengan tepat? Sebab, ketika seorang pesepak bola bermain, ia tidak hanya melayani klub, pemilik klub, jersey dikenakan, tapi juga barisan pendukung yang sebagian bisa dipastikan tidak mereka kenal, namun pasti hafal semua lakon mereka di lapangan.

Di sini, katakanlah Erick mewakili kebutuhan satu kubu terhadap kehadiran seorang taipan, dapat ditelusuri apakah dia semata-mata mewakili "klub" dikuasainya (baca: perusahaan-perusahaan yang dia punya), atau masih mau melihat lebih jauh lagi sehingga bersedia berada di barisan suatu kubu politik.

Saya pribadi menjadi salah satu yang masih meyakini, sosok seperti Erick Thohir berada di salah satu kubu memiliki tujuan yang jauh dari sekadar yang bisa diraba pengamat, analis, atau siapa pun. Diibaratkan kapten satu klub sepak bola, dia adalah kapten yang sudah mengantarkan satu tim meraih trofi yang membanggakan segenap suporter (bangsa Indonesia) lewat Asian Games 2018.

Sekarang, dengan pilihan politiknya, dia sedang bekerja untuk negaranya kembali. Bukan sekadar soal kewajiban untuk sebuah kekuatan politik tetap berada di atas, tetapi untuk sebuah misi agar pekerjaan menghadirkan kekuasaan yang punya kekuatan membangun hingga ke pelosok-pelosok negeri ini tetap berlanjut.

Lalu dengan pilihannya itu lantas ia menepikan matematikanya sebagai seorang taipan? Mungkin tidak sepenuhnya, namun dengan keberaniannya mengemban sebuah tanggung jawab lebih besar dari sekadar perusahaan pribadi, saya pikir memang ada cita-cita besar yang sedang diusungnya. Terutama, tentu saja, agar buah dari kemerdekaan bisa terasakan oleh siapa saja, lewat tangan yang ia yakini bisa melakukan itu.

Nah, apakah keberadaan Sandi yang notabene rekannya yang menembus langsung ke tempat calon wakil presiden kalah mulia dibandingkan dirinya? Mungkin sama mulianya. 

Namun jika mengulik siapa dari dua sahabat itu jauh lebih punya peran yang terasakan oleh banyak orang tanpa perlu bersibuk-sibuk mengatasnamakan agama dan mengiming-imingi uang, saya pikir memang lebih mampu diperlihatkan oleh Erick Thohir.

Bahwa kesimpulan ini terkesan berat sebelah, silakan saja direnung-renung serentetan kronologi yang mengawali tulisan ini.*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun