Di dunia realitas, bukan rahasia jika Jokowi berkali-kali hadir saat Lombok dilanda gempa, berkeliling Indonesia untuk mengenal masalah, menyelesaikannya satu-persatu. Â Ia menghadirkan jalan-jalan agar distribusi kebutuhan, dari barang sampai makanan leluasa sampai ke tiap pelosok Tanah Air.
Ia memilih lebih banyak di luar istana dibandingkan di dalam istana. Ia datang ke pasar-pasar rakyat, berbicara dengan pedagang-pedagang kecil, dan terus menggali masalah dan menuntaskannya.
Anda bisa menghitung, manakah yang lebih sering dilakukan seorang Jokowi: menikmati kenyamanan istana, atau memilih keluar dari istana dan hadir ke tengah-tengah rakyatnya? Saya adalah salah satu rakyat yang melihat dan mengakui bahwa Jokowi lebih sering hadir ke tengah rakyatnya, meninggalkan istananya, untuk menghadapi langsung apa saja kesulitan rakyatnya.
Bahwa tidak seluruh rakyatnya mau menghargai keringatnya, masih ada yang memilih mencibirnya karena ia tidak berkuda, misalnya, bukanlah alasan untuk berhenti melaju: kecuali jika kelak sudah bisa memastikan agar anak-anak negeri ini bisa berjalan tenang tanpa ketakutan dihantam "kendaraan-kendaraan besar" di perjalanan mereka.
Ada ketidaksempurnaan di sana. Namun dari ketidaksempurnaan itu juga ada pesan, bahwa sepanjang Anda berusaha sesempurna mungkin, maka usaha takkan mengkhianati hasil. Bahwa memang belum semua sempurna, kita bisa melihat ke dalam diri sendiri: berapa banyak hal sempurna mampu kita lakukan. Jangan dulu bicara bagaimana sempurna mengurus sebuah negara, tapi lihat juga bagaimana kita mengurus hal-hal yang jauh lebih kecil: mengurus diri sendiri, keluarga, dan sekeliling kita. Sudah sempurnakah?
Kembali ke soal kendaraan dan atraksi seorang Jokowi dengan motornya. Baginya, yang dibutuhkan untuk bisa membantu negaranya tiba di tujuan, adalah menyesuaikan "kendaraan" dengan realitas kekinian. Kuda memang bisa menjadi kendaraan yang sekilas lebih perkasa, gagah. Namun memimpin bukan urusan gagah-gagahan. Ini soal bagaimana bisa menyesuaikan zaman dengan alat apa yang mesti digunakan.
Motor adalah simbol kendaraan paling baik di tengah berbagai himpitan: todongan luar negeri dan caci maki oposisi yang tak kunjung pulih dari sakit hati. Dengan itulah ia berusaha membantu negerinya. Bisa naik "lift" ke lantai dua, atau ke level lebih tinggi dari sebelumnya. Ia menekan tombol nomor "2" di lift itu, karena ia sedang bekerja untuk itu. Bukan sekadar urusan dua periode, tapi bagaimana mengangkat negerinya ke tingkat lebih tinggi.
Untuk berada ke tingkat lebih tinggi itu, ia mengajak memacu kecepatan, mengajak berkeringat, mengajak jeli melihat peluang. Bukan mengeluh atau menebar ketakutan, tapi menebarkan keyakinan, optimisme, gairah, kegesitan, kelincahan.
Soal masih banyak rakyatnya yang masih saja terkagum-kagum dengan tokoh yang hanya bisa menebarkan ketidakyakinan, menebar ketakutan, menyebarkan keluhan, bukanlah persoalan. Ia meyakini, rakyat di negerinya membutuhkan langkah yang bisa dilihat langsung, aksi yang bisa dilihat dengan mata kepala dan juga nurani, dan dengan itu kelak penebar keluhan hanya didengar yang gemar mengeluh. Ia berusaha menunjukkan, untuk bisa melewati rintangan bukanlah diam dan memilih mengeluh, tapi bagaimana bergerak, berkeringat, membaca peluang, berkonsentrasi pada perjalanan, hingga tiba ke tujuan.
Jika Anda belum bisa menangkap pesan dari motor tunggangan Jokowi: cobalah sesekali menunggangi motor, dan coba tangkap pesan hidup apa yang bisa Anda dapatkan dari kendaraan semua kalangan itu. Bukan untuk memikirkan negara, setidaknya Anda bisa menemukan ilham untuk menuntaskan tantangan hidup kita masing-masing.
Sebab, presiden bekerja lewat kebijakan. Sementara untuk kita rakyat berubah, bukanlah dari bagaimana pemerintah menyuapi, tapi bagaimana kita menggali diri, menemukan kekuatan, dan melaju di jalanan hidup yang memang penuh tantangan dari kemacetan hingga gang-gang sempit yang mesti Anda lewati.***