Apakah Anda pernah menyantap hingga lima jenis makanan hanya dalam sekali duduk di satu tempat? Saya sendiri juga belum pernah sampai akhirnya benar-benar hadir di acara bertajuk "Taste of Macao", Sabtu (14/7/2018), bertempat di Nusa Indonesian Gastronomy Restaurants di bilangan Kemang Raya, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, perut yang saya punya, meskipun kini mulai terlihat mulai membulat lebih dari ukuran biasanya, namun sering menyerah setelah menjajal satu-dua makanan. Untuk dua jenis makanan saja terkadang membutuhkan jeda sampai 30 hingga 60 menit.
Sementara saat hadir ke lokasi acara yang diadakan Macao Government Tourism Office tersebut, perut yang mulai menggemuk itu ternyata mampu menerima hingga lima jenis makanan. Padahal jeda antara makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup, dapat dikatakan hanya berselang antara 5-10 menit.
Awalnya sempat terpikir, sepertinya hanya satu-dua jenis makanan saja yang dapat saya tuntaskan. Sebab, rekam jejak saya dalam urusan makan-memakan, lebih sering hanya memenuhi insting untuk kenyang saja. Jarang-jarang menjajal makanan hanya untuk menguji kekuatan rasa dengan segala variasinya. Kenyang, sudah.
Kali ini, pengalaman berbeda akhirnya terjadilah. Satu demi satu makanan yang dihidangkan lenyap dari meja, dan berpindah ke perut yang membulat tadi. O, ternyata saya mampu juga untuk makan dalam jumlah banyak.
Sensasi awal yang saya perhatikan, sejauh mana perut saya ramah terhadap semua makanan tersebut? Syukurnya, meski terbilang makanan asing, karena memang hanya dikenal di Macao, dan biasanya menjadi buah bibir para travellers yang pernah ke sana, perut saya tak lagi menempatkan makanan yang baru saja dilahap itu sebagai makanan asing.
Sebab masih ada benang merah juga dengan makanan Nusantara, terlepas dari komposisi bumbu hingga gaya memasak yang terbilang ada kekhasan tersendiri. Ada rasa rempah, berbagai bumbu, dari bawang sampai dengan merica, yang khas Asia.Â
Sepanjang melahap makanan tersebut, saya sempat mencoba membandingkan antara mantan pacar dengan istri sendiri. Maaf, maksudnya, membandingkan antara makanan khas Macao yang satu per satu saya lahap, dengan makanan Nusantara yang sebelumnya jauh lebih familiar dengan saya.Â
Juga, sempat pula saya coba bandingkan dengan makanan seperti Eropa, Jepang, atau Korea. Kesimpulan yang bisa saya tarik, sepertinya rasa makanan dari Macao ini adalah kombinasi antara kuliner Eropa dengan Asia.
Namun ini bukan sekadar kuliner. Ini adalah gastronomi, atau sesuatu yang lebih dari sekadar kuliner saja. Sebab di sana ada cerita, sejarah, dan berbagai hal yang bersentuhan dengan suatu jenis makanan.
Sebut saja Serradura, yang ternyata juga akrab dengan masyarakat di Macao, terlepas dalam sejarahnya, makanan tersebut memang berasal dari Portugal. Apa hubungannya antara Portugal dengan Macao? Ya, lantaran memang negara dari Eropa itu sendiri pernah menguasai Macao sejak abad ke-16.Â
Berawal dari kedatangan seorang warga Portugal ke Tiongkok pada tahun 1513, sekaligus menandai persentuhan Macao dengan Portugal, hingga banyak warna khas negara Eropa itu membekas dalam kehidupan masyarakat Macao, termasuk dalam urusan makanan. Serradura menjadi salah satu makanan yang juga menjadi peninggalan Portugal, namun paling digemari masyarakat Macao.
Serradura ini dapat dikatakan sejenis puding namun dengan tekstur berlapis-lapis, dibikin dari krim vanila. Selain itu juga diisi lagi dengan biskuit yang lebih dulu dihaluskan. Di Macao sendiri, makanan ini sering disajikan bersama es krim.
Makanan lain yang juga tidak kalah menarik adalah Macanese Codfish, yang juga punya keterpautan sejarah dengan kedatangan Portugal ke Macao. Ini menjadi salah satu makanan yang juga memiliki cerita tersendiri, karena di masa lalu ceritanya makanan ini lahir dari kebiasaan masyarakat Portugal untuk menghemat makanan dan menjaga agar bagaimana menjaga makanan di saat-saat sulit.Â
Kemudian makanan itu juga menjadi akrab dengan masyarakat Macao, tidak lepas juga dari prinsip-prinsip dan nilai yang melingkari makanan itu sendiri. Apalagi bukan rahasia, jejak Portugal di kawasan istimewa Tiongkok ini, diakui banyak pakar melekat pada dua hal paling menonjol, yakni makanan dan juga seni arsitektur.
Itu juga yang belakangan menginspirasi otoritas Macao sendiri untuk menggencarkan Macao Gastronomy, sebuah campaign yang sudah digerakkan otoritas Macao sejak 17 Januari 2018. Bertajuk "2018 Macao Year of Gastronomy", campaign itu sendiri bertujuan untuk mengenalkan lebih luas berbagai sejarah yang menyangkut ke kota tersebut. Dari sana, mereka mengusung misi agar berbagai keunikan yang terdapat di Macao dapat lebih dikenal luas oleh para wisatawan, sekaligus menularkan spirit kreatif kepada para pengunjung kawasan tersebut.
Patut dicatat, campaign bertajuk 2018 Macao of Gastronomy itu sendiri pertama kali diluncurkan di Sai Van Lake Square oleh pejabat setempat seperti Alexis Tam, juga Getachew Engida, Yao Jian, Wang Dong, sampai dengan Anders Edvinsson yang merupakan Koordinator Jaringan Kota-kota Kreatif UNESCO.
Namun pihak otoritas setempat memastikan bahwa ide di balik gagasan Macao sebagai kota gastronomi, mereka juga menginginkan agar makanan dan minuman lokal pun tetap akrab dengan penduduk dan para pengunjung kawasan tersebut.
So, berbagai makanan yang sempat saya jajal dengan beberapa food bloggers dan travel blogger di lokasi acara baru-baru ini, masih bertalian dengan gagasan diusung Pemerintah Macao. Perut kenyang, sekaligus memenuhi pikiran dengan berbagai keinginan; antara ingin menjelajah Macao sendiri, sekaligus mengakrabi lebih jauh budaya kota tersebut.Â
Sebab, tentu saja, berbicara makanan bukan sekadar berbicara rasa saja, tetapi di sana ada cerita. Di sana juga menyimpan banyak rekam jejak masa lalu yang menantang buat ditelusuri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H