Dalam hemat saya, selama ini perasaan-perasaan negatif itulah yang mendorong tindakan terorisme. Inilah mentalitas yang membuat sebagian Muslim tergerak untuk "berjihad" di negeri yang sebenarnya bukanlah "darul harb" atau daerah perang.
Inilah yang kemudian membuat seorang ayah dan ibu bahkan melibatkan anak-anak mereka yang masih kecil turut terlibat dalam aksi-aksi yang keji, kejam, dan jahat sekali. Anak-anak dijadikan tumbal untuk bunuh diri, karena meyakini yang mereka lakukan adalah sebuah pesan Tuhan, untuk menghancurkan orang-orang yang dianggap jauh dari Tuhan, penentang Tuhan, dan diyakini harus dibasmi.
Kenapa bisa begitu? Lantaran sisi emosi pelaku aksi-aksi bunuh diri sampai melibatkan anak-anak itu lebih terlatih daripada nalar dan nurani mereka. Dari sanalah mereka menjadi manusia yang tega, sampai hati, hingga anak-anak yang semestinya mereka rawat, hidupi, dan besarkan untuk menjadi manusia seutuhnya, justru dihancurkan dan mereka bunuh sendiri lewat bom bunuh diri mengatasnamakan agama.
Ya, itulah yang membuat saya menjadi seorang pengguna media sosial yang rewel, cerewet, dan terkadang keras dan menyuarakan soal itu. Menyuarakan kenapa bersikap moderat dan berpikir seimbang jauh lebih baik.Â
Baik untuk kemanusiaan dan baik untuk penguatan negara sebesar Indonesia. Tak terkecuali hari ini, saat hadir di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada diskusi diadakan Forum Merdeka Barat, lagi-lagi saya turut menyuarakan ini lagi, terlepas di sana hadir hanya sebagai peserta saja.
Kenapa? Karena berpikir moderat akan membantu siapa saja untuk bisa adil dalam berpikir dan bertindak. Bahwa mereka yang beragama apa saja, bersuku apa saja, memiliki hak setara dan tidak berbeda dari pemeluk agama lainnya. Jika sudah begini, impian untuk kedamaian dan fokus pada cita-cita untuk menjadi bangsa yang besar dan disegani dunia akan lebih terbuka lebar.
Inilah alasan saya belum berhenti untuk menyuarakan pluralisme dan toleransi, melawan figur-figur publik yang rentan memecah belah bangsa, terlepas konsekuensi dari sikap ini sempat berujung pada hancurnya karier saya.Â
Kehancuran sebuah karier bukan persoalan, sebab persoalan yang sebenarnya adalah ketika kerugian dan kehancuran justru menimpa jauh lebih banyak orang; mereka yang minoritas, mereka yang lemah, hingga berujung pada kehancuran negeri ini sendiri.
Maka itu, iktikad baik dan tulus dari semua orang, terutama tokoh publik untuk menebar pikiran toleransi dan pluralisme menjadi hal yang urgen. Sebab merekalah yang jauh lebih didengarkan oleh umat, oleh pengikut mereka.Â
Jika mereka menebar pikiran damai, maka kedamaian akan menancap lebih kuat di benak banyak orang, sampai melahirkan tindakan-tindakan yang mengarah pada kedamaian sepenuhnya.
Jika sudah sampai di titik itu, Indonesia akan menjadi kendaraan besar yang bisa berlari kencang, dan tiba ke terminal impian lebih cepat daripada yang diperkirakan orang-orang pesimistis yang sibuk dengan mempersoalkan perbedaan.*