Hari Selasa. Tepat kalender menunjuk pertengahan bulan Mei 2018, saya memenuhi undangan wawancara dengan media ternama Amerika Serikat, The New York Times.Â
Di sana, Raymond Zhong, jurnalis di media tersebut banyak menanyakan seputar fenomena yang belakangan menyeruak di Indonesia; dari kecenderungan menguatnya Islam garis keras sampai dengan pengaruh media sosial terhadap publik.
Dalam  bincang-bincang itu, saya lebih banyak mengangkat tentang andil media sosial sampai dengan figur publik yang selama ini, entah sengaja atau tidak, justru mengarah pada sikap membenarkan dan bahkan meyakinkan kalangan garis keras untuk bekerja.
Gembira. Lantaran kesempatan saya menyuarakan kondisi di Indonesia mendapatkan tempat di media sekelas NY Times. Dalam bayangan saya, dengan ini bisa menjadi pesan pada dunia, bahwa kedamaian bukanlah mimpi jika satu sama lain tidak saling menzalimi, terlepas apa saja perbedaan latar belakang agama, ideologi, suku, dan sebagainya.
Bahwa dalam sudut pandang pribadi saya cenderung menolak merebaknya pemikiran ala fundamentalis, saya pikir memang merupakan hal yang krusial. Sebab dari yang saya cermati, kalangan fundamentalis getol menebarkan pemikiran yang menjurus pada pembenaran sikap-sikap inferior namun di sisi lain menempatkan diri di atas pemeluk agama lain.
Kecintaan pada agama yang dianut, dalam hemat saya setelah melewati perjalanan dan pergumulan dialektika, membawa pada kesimpulan bahwa semestinya--kecintaan pada agama tadi--memang bisa ditransformasikan pada kecintaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa apa saja agama yang dianut siapa saja, bukanlah sebuah masalah, bukanlah persoalan yang harus dibentur-benturkan.Â
Itu juga yang saya suarakan sepanjang wawancara dengan NY Times.Â
Benar. Ada kegelisahan yang berkecamuk pada diri saya, keberadaan umat Islam sebagai mayoritas yang semestinya menjadi suatu nilai plus, tapi justru dipelintir hingga disetir sekelompok orang yang gemar menutupi jiwa fasis dan egois lewat baju agama.
Itulah yang membuat saya sekaligus menjadi pemberontak. Dalam arti, saya pribadi acap melempar kritikan kepada tokoh-tokoh yang terlanjur dipersepsikan sebagai tokoh Muslim, namun justru hanya mengasah sisi emosi umat, namun nihil iktikad untuk membantu agar nalar umat pun terasah.
Kalau saja sisi emosi dan nalar bisa terasah secara seimbang, nilai-nilai Islam takkan berdampak seperti terjadinya terorisme dan sejenisnya. Sebab keseimbangan itu justru membuat umat Muslim terlatih melihat, berpikir, dan bertindak, yang lebih mengarah pada perbaikan, kebaikan, dan kultur yang lebih baik.
Disayangkan sekali, banyak tokoh Muslim di negeri ini yang mendapatkan panggung besar untuk berbicara di mana-mana, diundang berbagai televisi, berbicara di banyak tempat, namun hanya menularkan pikiran yang membuat umat Muslim menjadi korban, terzalimi, perasaan terancam, sampai kecurigaan.
Dalam hemat saya, selama ini perasaan-perasaan negatif itulah yang mendorong tindakan terorisme. Inilah mentalitas yang membuat sebagian Muslim tergerak untuk "berjihad" di negeri yang sebenarnya bukanlah "darul harb" atau daerah perang.
Inilah yang kemudian membuat seorang ayah dan ibu bahkan melibatkan anak-anak mereka yang masih kecil turut terlibat dalam aksi-aksi yang keji, kejam, dan jahat sekali. Anak-anak dijadikan tumbal untuk bunuh diri, karena meyakini yang mereka lakukan adalah sebuah pesan Tuhan, untuk menghancurkan orang-orang yang dianggap jauh dari Tuhan, penentang Tuhan, dan diyakini harus dibasmi.
Kenapa bisa begitu? Lantaran sisi emosi pelaku aksi-aksi bunuh diri sampai melibatkan anak-anak itu lebih terlatih daripada nalar dan nurani mereka. Dari sanalah mereka menjadi manusia yang tega, sampai hati, hingga anak-anak yang semestinya mereka rawat, hidupi, dan besarkan untuk menjadi manusia seutuhnya, justru dihancurkan dan mereka bunuh sendiri lewat bom bunuh diri mengatasnamakan agama.
Ya, itulah yang membuat saya menjadi seorang pengguna media sosial yang rewel, cerewet, dan terkadang keras dan menyuarakan soal itu. Menyuarakan kenapa bersikap moderat dan berpikir seimbang jauh lebih baik.Â
Baik untuk kemanusiaan dan baik untuk penguatan negara sebesar Indonesia. Tak terkecuali hari ini, saat hadir di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada diskusi diadakan Forum Merdeka Barat, lagi-lagi saya turut menyuarakan ini lagi, terlepas di sana hadir hanya sebagai peserta saja.
Kenapa? Karena berpikir moderat akan membantu siapa saja untuk bisa adil dalam berpikir dan bertindak. Bahwa mereka yang beragama apa saja, bersuku apa saja, memiliki hak setara dan tidak berbeda dari pemeluk agama lainnya. Jika sudah begini, impian untuk kedamaian dan fokus pada cita-cita untuk menjadi bangsa yang besar dan disegani dunia akan lebih terbuka lebar.
Inilah alasan saya belum berhenti untuk menyuarakan pluralisme dan toleransi, melawan figur-figur publik yang rentan memecah belah bangsa, terlepas konsekuensi dari sikap ini sempat berujung pada hancurnya karier saya.Â
Kehancuran sebuah karier bukan persoalan, sebab persoalan yang sebenarnya adalah ketika kerugian dan kehancuran justru menimpa jauh lebih banyak orang; mereka yang minoritas, mereka yang lemah, hingga berujung pada kehancuran negeri ini sendiri.
Maka itu, iktikad baik dan tulus dari semua orang, terutama tokoh publik untuk menebar pikiran toleransi dan pluralisme menjadi hal yang urgen. Sebab merekalah yang jauh lebih didengarkan oleh umat, oleh pengikut mereka.Â
Jika mereka menebar pikiran damai, maka kedamaian akan menancap lebih kuat di benak banyak orang, sampai melahirkan tindakan-tindakan yang mengarah pada kedamaian sepenuhnya.
Jika sudah sampai di titik itu, Indonesia akan menjadi kendaraan besar yang bisa berlari kencang, dan tiba ke terminal impian lebih cepat daripada yang diperkirakan orang-orang pesimistis yang sibuk dengan mempersoalkan perbedaan.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H