Setiapkali melintas di depan gedung yang berisikan orang-orang yang sebagian besar berperut gendut di Senayan itu, hampir selalu melintas di benak saya; di sinilah penjahat mengasah kemampuan agar terlihat sebagai orang suci, pencuri yang berjuang keras agar terlihat sebagai penolong, dan orang-orang rakus yang selalu berusaha menampilkan diri paling prihatin atas nasib orang-orang yang kelaparan.
Rasa-rasanya tidak tega untuk menuangkan bagaimana kesan saya tentang mereka tersebut dengan bahasa yang memang terasa sangat sarat penghakiman itu. Namun untuk membicarakan mereka tak cukup hanya dengan mengandalkan rasa, tapi juga memang mesti menalar secara jujur atas apa tindak-tanduk mereka, apa yang mereka pamerkan, sampai sejauh mana manfaat keberadaan mereka di sana. Ya, saya berusaha menempatkan diri sebagai majikan mereka, para wakil rakyat itu.
Tidak bermanfaat. Mereka dapat dikatakan sebagai pelayan tanpa manfaat. Kesan ini justru menambah daftar kesan buruk saya sebagai salah seorang rakyat tentang mereka. Salah seorang rakyat yang memang sering melewati gedung yang kerap disulap jadi tempat mereka tidur nyaman kala rapat, kemudian mengklaim lewat buku beraroma "masturbasi" bahwa mereka bekerja siang malam untuk rakyat. Ya, buku yang juga menjadi penguat dalih, bahwa mereka sangat pantas menghabiskan uang negara dalam jumlah besar.Â
Padahal, jika disimak-simak dari berbagai berita seputar tokoh-tokoh mereka di sana, alih-alih melahirkan hasil pekerjaan besar, yang lebih sering terlihat adalah kemampuan menunjukkan ukuran mulut mereka saja. Mulut besar yang dilengkapi dengan badan yang makin membesar, dan disempurnakan dengan kepala besar.
Kenapa kepala besar? Ya, ini berkait lagi dengan kecenderungan baru atas tekad bulat mereka melahirkan aturan, yang jika diambil kesimpulan ringkas dari sana, bahwa mereka sajalah yang paling berhak mengkritik, tapi haram bagi pihak lain untuk mengkritik mereka. Cukup menjadi petunjuk seberapa besar kepala mereka yang mencari makan dengan membawa-bawa nama rakyat itu.
Jadi, kepala besar akhirnya memang membuktikan bukanlah pertanda adanya otak yang berukuran lebih besar, melainkan hampir tanpa isi, barangkali. Seperti halnya balon, ukurannya tak melulu karena ada sesuatu yang lebih dari sekadar angin saja.
Jika kepala besar itu memang memiliki isi memadai, tentu akan istimewa-lah apa-apa yang dihasilkan dari sana--dari kepala-kepala tersebut. Namun toh terbukti, isi kepala mereka hanya berkutat pada apa-apa yang menguntungkan diri mereka saja.
Menurut mereka, kritikan yang mereka lempar ke luar diri dan kalangan mereka itu cenderung menguntungkan. Sementara jika kritikan itu justru terarah kepada mereka diimani sebagai hal merugikan. Ini tentu saja mengusik sebuah perasaan yang sangat membuai; perasaan terhormat.
Mereka merasa terhormat tanpa perlu melakukan hal-hal yang terhormat. Mereka meminta dihormati tanpa merasa terbeban harus melahirkan sesuatu yang memang pantas dihormati. Dan, mereka juga ingin memiliki kehormatan, tanpa perlu harus menghormati yang lain. Bahkan menghormati rakyat saja menjadi hal yang tak menarik minat mereka.
Buktinya? Ya, kalau saja mereka menghormati rakyat, mereka itu takkan menuntut dihormati, terlebih karena memang terbukti banyak pemandangan tak terhormat terjadi di sana; rahasia umum tentang aturan yang bersifat transaksional, abadinya politik dagang sapi, sampai dengan memuluskan para pencuri uang rakyat agar tak terendus.
Lagi, jika saja mereka menghormati rakyat, mereka takkan menuntut agar mereka diposisikan di atas rakyat. Toh mereka hanyalah wakil rakyat, dan wakil bahkan sejatinya berada di bawah yang diwakili. Hanya karena besarnya kepala mereka di sana, membuat mereka tanpa malu menuntut agar mereka harus lebih dihormati dibandingkan yang mereka wakili. Jika diibaratkan babu, jelas ini tipe babu yang sangat tidak tahu diri.
Lalu? Kita sebagai tuan mereka, kita sebagai rakyat yang memercayakan mereka sebagai wakil, perlu menegaskan kepada mereka bahwa posisi sebagai tuan bukanlah milik mereka. Kitalah tuan itu.Â
Kita sebagai tuan berhak menggugat, mendamprat, atau bahkan menempeleng kepala mereka; "Aturan ini untuk kepentingan saya sebagai majikan Anda, atau ini aturan yang Anda ada-adakan untuk kepentingan diri sendiri? Jika masih mewakili saya, maka aturan itu tak pernah saya minta. Sedangkan jika merasa tak lagi tertarik mewakili saya, ksatrialah untuk menanggalkan tempat itu untuk wakil lain yang lebih pantas dan lebih tahu diri!"
Sayangnya, kita sebagai tuan pun selama ini terlalu santun, dan terlalu terbuai dengan kemampuan mereka membuka mulut. Kita tidak menyadari jika mereka hanya melafalkan mantera untuk membuat kita terbuai sampai tertidur. Padahal, ketika majikan tertidur, maka babu bermental pengkhianat akan makin leluasa saja merampas semua harta kita miliki, atau bahkan nyawa kita sendiri.
Jadi, kita rakyat perlu pula mempertegas posisi kita sebagai majikan. Teriaki mereka jika makin menuli, dan tendang mereka keluar jika semakin tidak tahu diri. (@zoelfick)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H