Lagi, jika saja mereka menghormati rakyat, mereka takkan menuntut agar mereka diposisikan di atas rakyat. Toh mereka hanyalah wakil rakyat, dan wakil bahkan sejatinya berada di bawah yang diwakili. Hanya karena besarnya kepala mereka di sana, membuat mereka tanpa malu menuntut agar mereka harus lebih dihormati dibandingkan yang mereka wakili. Jika diibaratkan babu, jelas ini tipe babu yang sangat tidak tahu diri.
Lalu? Kita sebagai tuan mereka, kita sebagai rakyat yang memercayakan mereka sebagai wakil, perlu menegaskan kepada mereka bahwa posisi sebagai tuan bukanlah milik mereka. Kitalah tuan itu.Â
Kita sebagai tuan berhak menggugat, mendamprat, atau bahkan menempeleng kepala mereka; "Aturan ini untuk kepentingan saya sebagai majikan Anda, atau ini aturan yang Anda ada-adakan untuk kepentingan diri sendiri? Jika masih mewakili saya, maka aturan itu tak pernah saya minta. Sedangkan jika merasa tak lagi tertarik mewakili saya, ksatrialah untuk menanggalkan tempat itu untuk wakil lain yang lebih pantas dan lebih tahu diri!"
Sayangnya, kita sebagai tuan pun selama ini terlalu santun, dan terlalu terbuai dengan kemampuan mereka membuka mulut. Kita tidak menyadari jika mereka hanya melafalkan mantera untuk membuat kita terbuai sampai tertidur. Padahal, ketika majikan tertidur, maka babu bermental pengkhianat akan makin leluasa saja merampas semua harta kita miliki, atau bahkan nyawa kita sendiri.
Jadi, kita rakyat perlu pula mempertegas posisi kita sebagai majikan. Teriaki mereka jika makin menuli, dan tendang mereka keluar jika semakin tidak tahu diri. (@zoelfick)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H