Kramat Tunggak pernah menjadi kawasan pelacuran terbesar di Jakarta dan bahkan terkenal se-Asia Tenggara. Ada catatan yang menyebutkan jika di sana pernah ada 2 ribu pekerja seks dan ratusan germo, menggantungkan hidup. Ketika belakangan tempat se-elite Alexis mengundang sinis, Kramat Tunggak pernah menjadi tempat paling laris meskipun saat itu masyarakat pun melihat tempat itu tak kalah sinis.
Sikap sinis bukanlah hal yang perlu digubris. Setidaknya itulah pikiran mereka yang pernah mengais rezeki di sana, entah di Kramat Tunggak ataupun Alexis. Sebab, ketika mereka yang bekerja di sana menangis, tak ada tangan yang mau mengusap air mata mereka. Bagi mereka, orang-orang hanya bisa melihat dengan sinis, tapi sedikit yang mau melihat mereka dengan tatapan selembut gerimis.
Masa kini orang-orang mengarahkan mata sinis ke Alexis. Sementara di masa lalu, Kramat Tunggak menyimpan cerita yang dapat dikatakan lebih sadis. Berada dekat dengan pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kramat Tunggak ini pernah menjadi kawasan paling diburu mereka yang membutuhkan hiburan.
Lokasi Kramat Tunggak tersebut memiliki luas lebih dari 10 hektar dan konon telah ada sejak 1950-an, dan bahkan bertahan hingga sekitar 50 tahun. Ali Sadikin yang memimpin Jakarta di era 1970-an memilih tidak sinis dalam melihat tempat itu. Bang Ali--sapaannya--memilih hanya berusaha membuat lokasi tersebut menjadi lebih tertata, hingga ia mengeluarkan SK Gub. No. Ca.7/1/13/70 yang dikeluarkan 27 April 1970. Bahkan belakangan ia mengeluarkan lagi Surat Gubernur bernomor Ca.7/1/39/71 yang bahkan meminta praktik pelacuran yang ada di Jakarta untuk pindah ke Kramat Tunggak.
Memang langkah itu tak lantas membuat beberapa titik lain bersih dari praktik prostitusi. Toh, menurut catatan Kompas 12 Mei 1994, di Cilincing dan Rawa Bangke pun tetap bertahan. Bahkan kemudian muncul lagi di beberapa titik lain seperti di Kalijodo--yang baru tutup di era Basuki Tjahaja Purnama, Rawa Malang, dan Boker.
Meskipun begitu, Kramat Tunggak tetap memiliki pamor jauh di atas lokasi prostitusi lainnya. Tak berlebihan jika perhatian atas lokasi tersebut membuat berbagai pihak yang tak berkepentingan menuntaskan berahi di sana pun turut tertarik. Sebut saja peneliti, jurnalis, dan berbagai pihak yang ingin melihat lokasi ini dari sudut pandang kemanusiaan, datang untuk menggali berbagai pemandangan yang ada di sana.
Di antara yang pernah datang dan menggali kawasan tersebut adalah Endang R. Sedyaningsih, kala berkarier di Kementerian Kesehatan dan kemudian menjadi peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dokter yang juga merupakan doktor dari Harvard School of Public Health, Boston, pernah menelusuri riwayat Kramat Tunggak dan kemudian merilis buku berjudul Perempuan-perempuan Kramat Tunggak.
Di buku itulah, berbagai sisi kehidupan di Kramat Tunggak direkam apa adanya, dari para pekerja seks yang menelan kehidupan buruk hingga sepenuhnya terpuruk, tentang para suami yang mendukung istri menggantungkan hidup para profesi ini, hingga tentang mereka yang sekadar penjual kopi dan makanan yang juga menangguk keuntungan dari tempat yang acap dipandang tak beradab.
Di sana juga terekam, bagaimana para pekerja seks yang biasanya bersikeras dengan harga yang mereka tetapkan, acap kali bersedia menurunkan harga saat mereka gelisah karena sedikitnya tamu yang mereka dapatkan. Juga, bahkan ada sebagian yang memang berperan sebagai "motivator" yang acap memberikan trik memasarkan diri hingga mengutangi mereka ketika kekurangan uang, yang mereka sebut dengan "Mami".