Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Hitam Jakarta, dari Kramat Tunggak ke Alexis

9 November 2017   10:04 Diperbarui: 10 November 2017   09:48 7035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Cnnindonesia.com

Saat itu, tarif lendir di lokasi ini hanya Rp 15 ribu untuk short time, dan bisa mencapai Rp 40 ribu bagi yang memilih menginap. Namun tarif ini tentu saja hanya berlaku sampai 1995--menurut catatan R. Sedyaningsih.

Lantas berapa penghasilan mereka saat itu per harinya? Hanya sebagian kecil yang mampu menembus angka Rp 500 ribu. Sebagai perbandingan, menurut R. Sedyaningsih, di era itu gaji pekerja rumah tangga masih berkisar Rp 100 ribu. Sementara di lokasi pelacuran ini sendiri, para pekerja seks bisa mendapatkan hingga Rp 1 juta lebih.

Masalahnya adalah para pekerja seks itu sendiri acap harus mengeluarkan lagi banyak uang untuk berbagai keperluan, termasuk untuk para germo di mana mereka pun harus menyetor tiap harinya mencapai Rp 20 ribu dan bahkan ada yang mencapai Rp 200 ribu. Meskipun penghasilan tak selalu menguntungkan dan pendapatan tak selalu mencukupi kebutuhan mereka, namun sebagian justru mengaku senang menjalani pekerjaan tersebut.

Dalam catatan R. Sedyaningsih, tak sedikit dari mereka yang memang mengawali karier prostitusi dari Kramat Tunggak. Bahkan 81 persen dari pekerja seks yang menjadi sasaran penelitiannya, 374 orang, mengawali pekerjaan itu di kawasan tak jauh dari kawasan pantai di Jakarta tersebut.

Tak hanya itu, dari sana juga diketahui jika para pekerja seks itu ada yang menggeluti profesi ini sejak 11 tahun dan mampu mempertahankan penghasilan terbilang baik hanya sampai usia 32 tahun. Apakah benar sebagian besar memilih profesi ini karena pengalaman buruk semisal pernah diperkosa? Ternyata banyak dari mereka yang bahkan tak pernah mengalami pengalaman tersebut.

Terlepas kawasan itu terbilang bebas, namun ternyata mereka juga memiliki aturan dan pantangan tersendiri. Ada keyakinan jika para germo sama sekali tak boleh "memakai" mereka yang bekerja dengannya. Sebab jika itu dilakukan, maka hampir dipastikan mereka akan gulung tikar. 

Banyak yang mengira jika para germo dapat secara leluasa memanfaatkan jasa pekerjanya dengan bebas, ternyata tidak seperti itu. Sebagian besar justru takut melakukan itu karena percaya bahwa sikap tersebut, memakan pekerja sendiri --menurut istilah mereka-- hampir pasti berujung bangkrut.

Namun semua cerita KR --sebutan mereka yang bekerja di sana untuk Kramat Tunggak-- terhenti pada 31 Desember 1999, saat Jakarta masih dipimpin oleh Sutiyoso. Bang Yos, mampu menutup lokasi itu nyaris tanpa ribut-ribut. Bagaimana gubernur sekarang?

Ada kesan gamang pemerintah DKI terkait Alexis, dan yang muncul justru kehebohan yang terkesan tak kenal henti. Sementara jika ditilik-tilik, Alexis bukanlah masalah sebesar Kramat Tunggak. Tak heran jika dalam kasus Alexis acap muncul tanda tanya, kehebohan itu dijaga untuk melejitkan reputasi Anies Baswedan atau betul-betul ada niat baik dengan alasan kemanusiaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun