Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Hitam Jakarta, dari Kramat Tunggak ke Alexis

9 November 2017   10:04 Diperbarui: 10 November 2017   09:48 7035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kramat Tunggak pernah menjadi kawasan pelacuran terbesar di Jakarta dan bahkan terkenal se-Asia Tenggara. Ada catatan yang menyebutkan jika di sana pernah ada 2 ribu pekerja seks dan ratusan germo, menggantungkan hidup. Ketika belakangan tempat se-elite Alexis mengundang sinis, Kramat Tunggak pernah menjadi tempat paling laris meskipun saat itu masyarakat pun melihat tempat itu tak kalah sinis.

Sikap sinis bukanlah hal yang perlu digubris. Setidaknya itulah pikiran mereka yang pernah mengais rezeki di sana, entah di Kramat Tunggak ataupun Alexis. Sebab, ketika mereka yang bekerja di sana menangis, tak ada tangan yang mau mengusap air mata mereka. Bagi mereka, orang-orang hanya bisa melihat dengan sinis, tapi sedikit yang mau melihat mereka dengan tatapan selembut gerimis.

Masa kini orang-orang mengarahkan mata sinis ke Alexis. Sementara di masa lalu, Kramat Tunggak menyimpan cerita yang dapat dikatakan lebih sadis. Berada dekat dengan pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kramat Tunggak ini pernah menjadi kawasan paling diburu mereka yang membutuhkan hiburan.

Lokasi Kramat Tunggak tersebut memiliki luas lebih dari 10 hektar dan konon telah ada sejak 1950-an, dan bahkan bertahan hingga sekitar 50 tahun. Ali Sadikin yang memimpin Jakarta di era 1970-an memilih tidak sinis dalam melihat tempat itu. Bang Ali--sapaannya--memilih hanya berusaha membuat lokasi tersebut menjadi lebih tertata, hingga ia mengeluarkan SK Gub. No. Ca.7/1/13/70 yang dikeluarkan 27 April 1970. Bahkan belakangan ia mengeluarkan lagi Surat Gubernur bernomor Ca.7/1/39/71 yang bahkan meminta praktik pelacuran yang ada di Jakarta untuk pindah ke Kramat Tunggak.

Memang langkah itu tak lantas membuat beberapa titik lain bersih dari praktik prostitusi. Toh, menurut catatan Kompas 12 Mei 1994, di Cilincing dan Rawa Bangke pun tetap bertahan. Bahkan kemudian muncul lagi di beberapa titik lain seperti di Kalijodo--yang baru tutup di era Basuki Tjahaja Purnama, Rawa Malang, dan Boker.

Meskipun begitu, Kramat Tunggak tetap memiliki pamor jauh di atas lokasi prostitusi lainnya. Tak berlebihan jika perhatian atas lokasi tersebut membuat berbagai pihak yang tak berkepentingan menuntaskan berahi di sana pun turut tertarik. Sebut saja peneliti, jurnalis, dan berbagai pihak yang ingin melihat lokasi ini dari sudut pandang kemanusiaan, datang untuk menggali berbagai pemandangan yang ada di sana.

Di antara yang pernah datang dan menggali kawasan tersebut adalah Endang R. Sedyaningsih, kala berkarier di Kementerian Kesehatan dan kemudian menjadi peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dokter yang juga merupakan doktor dari Harvard School of Public Health, Boston, pernah menelusuri riwayat Kramat Tunggak dan kemudian merilis buku berjudul Perempuan-perempuan Kramat Tunggak.

Di buku itulah, berbagai sisi kehidupan di Kramat Tunggak direkam apa adanya, dari para pekerja seks yang menelan kehidupan buruk hingga sepenuhnya terpuruk, tentang para suami yang mendukung istri menggantungkan hidup para profesi ini, hingga tentang mereka yang sekadar penjual kopi dan makanan yang juga menangguk keuntungan dari tempat yang acap dipandang tak beradab.

Foto: Cnnindonesia.com
Foto: Cnnindonesia.com
Ada catatan menarik yang juga sempat dicatat R. Sedyaningsih dalam bukunya tersebut, para pekerja seks itu memiliki sikap religius dengan cara mereka sendiri. Misal saja, begitu azan magrib berkumandang, maka seketika musik-musik yang ingar bingar pun seketika dimatikan.

Di sana juga terekam, bagaimana para pekerja seks yang biasanya bersikeras dengan harga yang mereka tetapkan, acap kali bersedia menurunkan harga saat mereka gelisah karena sedikitnya tamu yang mereka dapatkan. Juga, bahkan ada sebagian yang memang berperan sebagai "motivator" yang acap memberikan trik memasarkan diri hingga mengutangi mereka ketika kekurangan uang, yang mereka sebut dengan "Mami".

Saat itu, tarif lendir di lokasi ini hanya Rp 15 ribu untuk short time, dan bisa mencapai Rp 40 ribu bagi yang memilih menginap. Namun tarif ini tentu saja hanya berlaku sampai 1995--menurut catatan R. Sedyaningsih.

Lantas berapa penghasilan mereka saat itu per harinya? Hanya sebagian kecil yang mampu menembus angka Rp 500 ribu. Sebagai perbandingan, menurut R. Sedyaningsih, di era itu gaji pekerja rumah tangga masih berkisar Rp 100 ribu. Sementara di lokasi pelacuran ini sendiri, para pekerja seks bisa mendapatkan hingga Rp 1 juta lebih.

Masalahnya adalah para pekerja seks itu sendiri acap harus mengeluarkan lagi banyak uang untuk berbagai keperluan, termasuk untuk para germo di mana mereka pun harus menyetor tiap harinya mencapai Rp 20 ribu dan bahkan ada yang mencapai Rp 200 ribu. Meskipun penghasilan tak selalu menguntungkan dan pendapatan tak selalu mencukupi kebutuhan mereka, namun sebagian justru mengaku senang menjalani pekerjaan tersebut.

Dalam catatan R. Sedyaningsih, tak sedikit dari mereka yang memang mengawali karier prostitusi dari Kramat Tunggak. Bahkan 81 persen dari pekerja seks yang menjadi sasaran penelitiannya, 374 orang, mengawali pekerjaan itu di kawasan tak jauh dari kawasan pantai di Jakarta tersebut.

Tak hanya itu, dari sana juga diketahui jika para pekerja seks itu ada yang menggeluti profesi ini sejak 11 tahun dan mampu mempertahankan penghasilan terbilang baik hanya sampai usia 32 tahun. Apakah benar sebagian besar memilih profesi ini karena pengalaman buruk semisal pernah diperkosa? Ternyata banyak dari mereka yang bahkan tak pernah mengalami pengalaman tersebut.

Terlepas kawasan itu terbilang bebas, namun ternyata mereka juga memiliki aturan dan pantangan tersendiri. Ada keyakinan jika para germo sama sekali tak boleh "memakai" mereka yang bekerja dengannya. Sebab jika itu dilakukan, maka hampir dipastikan mereka akan gulung tikar. 

Banyak yang mengira jika para germo dapat secara leluasa memanfaatkan jasa pekerjanya dengan bebas, ternyata tidak seperti itu. Sebagian besar justru takut melakukan itu karena percaya bahwa sikap tersebut, memakan pekerja sendiri --menurut istilah mereka-- hampir pasti berujung bangkrut.

Namun semua cerita KR --sebutan mereka yang bekerja di sana untuk Kramat Tunggak-- terhenti pada 31 Desember 1999, saat Jakarta masih dipimpin oleh Sutiyoso. Bang Yos, mampu menutup lokasi itu nyaris tanpa ribut-ribut. Bagaimana gubernur sekarang?

Ada kesan gamang pemerintah DKI terkait Alexis, dan yang muncul justru kehebohan yang terkesan tak kenal henti. Sementara jika ditilik-tilik, Alexis bukanlah masalah sebesar Kramat Tunggak. Tak heran jika dalam kasus Alexis acap muncul tanda tanya, kehebohan itu dijaga untuk melejitkan reputasi Anies Baswedan atau betul-betul ada niat baik dengan alasan kemanusiaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun