Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dari Kertas Koran ke Panggung Kompasianival

30 Oktober 2017   09:29 Diperbarui: 31 Oktober 2017   12:59 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Kompasiana, ada kultur yang terjaga yakni kultur belajar tanpa henti dan berbagi - Gbr: Pribadi

Sementara ketika melihat tulisan saya muncul, maka saya pun seketika ceria, gembira, dan seraya memasang ekspresi seolah biasa saja menunjukkan ke teman-teman. "Nih, artikelku muncul di Kompasiana. Anaknya Kompas!" menikmati hidung kembang kempis sendiri, dengan dada membusung--meski tidak semenarik dadanya Pamela Anderson Lee karena dada saya tetaplah hanya dada khas pria.

Kenapa waktu itu begitu membanggakan terasa ketika artikel muncul di Kompasiana? Tak lain karena penulis yang ada memang sangat sedikit. Itu juga penulis yang memang telah terkenal di jagat media, dan kebanyakan adalah wartawan-wartawan senior Kompas. Lainnya, tokoh-tokoh papan atas seperti Jusuf Kalla, Kusmayanto Kadiman eks Menristek, dan beberapa nama terkenal lainnya.

Apa yang saya alami sejak mulai menekuni Kompasiana? Tak lain adalah merangsang saya untuk bermimpi lebih besar, "Gue jangan lagi menjadi pemain lokal, gue harus mengincar tempat di level nasional." Ya, Kompasiana menjadi perangsang melahirkan lagi mimpi-mimpi besar saya yang sempat tersendat di koran "Tempo" tadi, dan tersandung gaji yang hanya kisaran sekian ratus ribu.

Eh, di zaman jadi "pemain lokal" bagaimana bisa hidup sebagai manusia dengan sekian ratus ribu saja? Biasalah, rajin-rajin berutang, dan menguatkan iman ketika tagihan datang. Tapi tak selalu begitu juga, karena saya gemar membangun jaringan dan pertemanan, adalah pekerjaan-pekerjaan lain saya sambi, seperti menjadi notulen di berbagai seminar dan rapat-rapat diadakan lembaga pemerintah dan organisasi.

Jujur sih, sebenarnya, menjadi notulen saat itu lebih menjanjikan dari sisi keuangan. Lha, sehari saja bisa dibayar sejuta, tapi harus mengetik utuh apa yang dibicarakan dalam rapat dan seminar itu dari pagi dan bahkan sampai malam hari. Selain, kecepatan tangan di keyboard laptop harus seirama dengan kecepatan mulut mereka yang berbicara di sana.

Side job menjadi notulen itu tentu saja tidak saya dapatkan tiap hari. Setidaknya cukuplah untuk sedikit menebalkan kantong dan tak perlu lagi menebalkan muka untuk berutang ke sana kemari. Di samping, juga melatih kecepatan tangan agar tak kalah daripada copet, eh! Maksudnya terlatih agar bisa menulis dengan cepat. Jika copet berprinsip, makin cepat tangan Anda bergerak maka makin besar peluang Anda mendapat banyak dompet. Menginspirasi saya, bahwa penulis pun harus menulis cepat, untuk melatih berpikir cepat.

Kenapa perlu melatih menulis cepat dan berpikir cepat, sebab jika terlalu lama itu membosankan. Anda sering ditinggalkan pacar, mungkin karena membosankan lantaran apa-apa lambat. Pasangan mengajak nikah, Anda masih berpikir terlalu ruwet; bukannya memikirkan strategi menaklukkan calon mertua, justru berpikir bagaimana jika Rusia dan Korea Utara bersatu menaklukkan Amerika Serikat.

Di Kompasiana, ada kultur yang terjaga yakni kultur belajar tanpa henti dan berbagi - Gbr: Pribadi
Di Kompasiana, ada kultur yang terjaga yakni kultur belajar tanpa henti dan berbagi - Gbr: Pribadi
Perumpamaan macam apa ini? Tapi begitulah, melatih menulis cepat selalu saya latih, dan selain menjadi notulen di masa lalu di sela-sela menjadi kuli tinta, juga melatih berpikir cepat. Ada sesuatu yang saya biarkan agak lambat dan lama hanyalah setelah menikah, dan ini cukup jadi rahasia saya dengan istri saja.

Kenapa saya singgung soal "cepat" dan "lama". Sebab, ber-Kompasiana membantu saya dapat lebih cepat meraih gol demi gol; dari menikah karena bersua istri setelah awalnya ia terkagum-kagum dengan artikel saya di Kompasiana, lebih cepat mengantarkan saya kepada karier yang lebih baik.

Pencapaian mengharukan saat terpilih sebagai Kompasianer of the Year 2017 - Foto: Edrida
Pencapaian mengharukan saat terpilih sebagai Kompasianer of the Year 2017 - Foto: Edrida
Jika ditanya apa hasilnya saya ber-Kompasiana; mendapatkan uang lebih banyak, iya! Tapi yang terpenting adalah mendapatkan teman lebih banyak, jaringan  lebih luas, dan menjaga satu tradisi yang saya pertahankan ketika masih menjadi anak SD bau kencur yakni keberanian berpikir, berbicara, hingga melakukan banyak hal yang saya yakini bermanfaat bagi sesama manusia. Bukankah puncak hidup itu adalah ketika apa yang kita punya itu dapat melahirkan manfaat? Dan, sebaik-baik manfaat adalah manfaat yang tak hanya berhenti pada diri sendiri, bukan?

Jika ditanyakan, lha kok betah bertahun-tahun (delapan tahun) menggeluti Kompasiana? Ya, karena di sini saya menemukan tempat lebih luas untuk berbagi pikiran dengan jangkauan lebih luas. Selain, saya sendiri pun terangsang untuk dapat membuka pikiran lewat interaksi di sini, lewat diskusi dan bahkan dari sekadar basa-basi. Sebab hanya dengan pikiran terbuka saja, maka pikiran baik dapat dibagi kepada lebih banyak orang, dan pengetahuan baru lebih leluasa masuk untuk menjadi lebih baik.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun