Sementara ketika melihat tulisan saya muncul, maka saya pun seketika ceria, gembira, dan seraya memasang ekspresi seolah biasa saja menunjukkan ke teman-teman. "Nih, artikelku muncul di Kompasiana. Anaknya Kompas!" menikmati hidung kembang kempis sendiri, dengan dada membusung--meski tidak semenarik dadanya Pamela Anderson Lee karena dada saya tetaplah hanya dada khas pria.
Kenapa waktu itu begitu membanggakan terasa ketika artikel muncul di Kompasiana? Tak lain karena penulis yang ada memang sangat sedikit. Itu juga penulis yang memang telah terkenal di jagat media, dan kebanyakan adalah wartawan-wartawan senior Kompas. Lainnya, tokoh-tokoh papan atas seperti Jusuf Kalla, Kusmayanto Kadiman eks Menristek, dan beberapa nama terkenal lainnya.
Apa yang saya alami sejak mulai menekuni Kompasiana? Tak lain adalah merangsang saya untuk bermimpi lebih besar, "Gue jangan lagi menjadi pemain lokal, gue harus mengincar tempat di level nasional." Ya, Kompasiana menjadi perangsang melahirkan lagi mimpi-mimpi besar saya yang sempat tersendat di koran "Tempo" tadi, dan tersandung gaji yang hanya kisaran sekian ratus ribu.
Eh, di zaman jadi "pemain lokal" bagaimana bisa hidup sebagai manusia dengan sekian ratus ribu saja? Biasalah, rajin-rajin berutang, dan menguatkan iman ketika tagihan datang. Tapi tak selalu begitu juga, karena saya gemar membangun jaringan dan pertemanan, adalah pekerjaan-pekerjaan lain saya sambi, seperti menjadi notulen di berbagai seminar dan rapat-rapat diadakan lembaga pemerintah dan organisasi.
Jujur sih, sebenarnya, menjadi notulen saat itu lebih menjanjikan dari sisi keuangan. Lha, sehari saja bisa dibayar sejuta, tapi harus mengetik utuh apa yang dibicarakan dalam rapat dan seminar itu dari pagi dan bahkan sampai malam hari. Selain, kecepatan tangan di keyboard laptop harus seirama dengan kecepatan mulut mereka yang berbicara di sana.
Side job menjadi notulen itu tentu saja tidak saya dapatkan tiap hari. Setidaknya cukuplah untuk sedikit menebalkan kantong dan tak perlu lagi menebalkan muka untuk berutang ke sana kemari. Di samping, juga melatih kecepatan tangan agar tak kalah daripada copet, eh! Maksudnya terlatih agar bisa menulis dengan cepat. Jika copet berprinsip, makin cepat tangan Anda bergerak maka makin besar peluang Anda mendapat banyak dompet. Menginspirasi saya, bahwa penulis pun harus menulis cepat, untuk melatih berpikir cepat.
Kenapa perlu melatih menulis cepat dan berpikir cepat, sebab jika terlalu lama itu membosankan. Anda sering ditinggalkan pacar, mungkin karena membosankan lantaran apa-apa lambat. Pasangan mengajak nikah, Anda masih berpikir terlalu ruwet; bukannya memikirkan strategi menaklukkan calon mertua, justru berpikir bagaimana jika Rusia dan Korea Utara bersatu menaklukkan Amerika Serikat.
Kenapa saya singgung soal "cepat" dan "lama". Sebab, ber-Kompasiana membantu saya dapat lebih cepat meraih gol demi gol; dari menikah karena bersua istri setelah awalnya ia terkagum-kagum dengan artikel saya di Kompasiana, lebih cepat mengantarkan saya kepada karier yang lebih baik.
Jika ditanyakan, lha kok betah bertahun-tahun (delapan tahun) menggeluti Kompasiana? Ya, karena di sini saya menemukan tempat lebih luas untuk berbagi pikiran dengan jangkauan lebih luas. Selain, saya sendiri pun terangsang untuk dapat membuka pikiran lewat interaksi di sini, lewat diskusi dan bahkan dari sekadar basa-basi. Sebab hanya dengan pikiran terbuka saja, maka pikiran baik dapat dibagi kepada lebih banyak orang, dan pengetahuan baru lebih leluasa masuk untuk menjadi lebih baik.*