Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengulik Sengketa Pajak di Daerah

19 Oktober 2017   19:19 Diperbarui: 19 Oktober 2017   19:26 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi publik yang mengulik masalah pungutan di daerah yang acap menjegal pelaku bisnis - FOTO: Zulfikar Akbar

Pungutan di daerah hingga persoalan investasi menjadi bahan diskusi yang bertempat di Tjikinii Lima, Kamis (11/10/2017). Beberapa nama intelektual nasional hadir sebagai pembicara di acara diskusi publik yang mengangkat tema yang bertolak dari dampak regulasi pajak daerah dan sengketa pajak, masalah yang memang acap dinilai sebagai masalah dalam stabilitas bisnis hingga investasi. Sebut saja Yustinus Prastowo, Ronny Boko, Sumihar Petrus Tambunan, hingga Sukma Violetta.

Di acara yang diadakan oleh Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus tampil sebagai pembuka acara sekaligus menjadi pembicara utama. Sosok yang juga merupakan Direktur Eksekutif CITA tersebut mengetengahkan soal peraturan daerah yang dinilai olehnya acap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Pertentangan tersebut, menurutnya memang berdampak langsung pada iklim bisnis hingga investasi di berbagai daerah. Yustinus menjadikan dua kasus sebagai gambaran dari masalah aturan daerah yang acap dinilai memunculkan riak dalam dunia bisnis dan investasi. Selain kasus PT Freeport Indonesia, juga terdapat Newmont Nusa Tenggara. Kedua perusahaan raksasa tersebut sempat menjadi sorotan karena efek aturan daerah yang tak sedikit bertolak belakang dari aturan yang lebih tinggi.

Dalam kasus Freeport, mereka sempat dipusingkan dengan SKPD Pajak Air Permukaan (PAP) karena pemanfaatan air sungai untuk mengalirkan sisa pengolahan bahan tambang. Tapi SKPD tersebut keluar, hingga pihak Freeport mengajukan keberatan, namun ditolak dengan munculnya putusan Pengadilan Pajak Nomor 79853. Pihak PTFI sempat mengajukan peninjauan kembali, namun masih menjadi tanda tanya hingga kini.

Peserta acara dari kalangan akademisi hingga pelaku bisnis turut hadir di acara tersebut - FOTO: Zulfikar Akbar
Peserta acara dari kalangan akademisi hingga pelaku bisnis turut hadir di acara tersebut - FOTO: Zulfikar Akbar
Dalam kasus PTFI, ditengarai ada beberapa hal tidak dipertimbangkan dengan matang oleh Majelis Hakim. PT FI dinilai tidak menyerahkan surat rekomendasi, sehingga Kontrak Karya dinilai tidak sah secara hukum. Padahal surat rekomendasi asli seharusnya disediakan oleh Pemerintah. Kemudian Kontrak Karya tidak termasuk dalam hierarki dalam UU No. 12 Tahun 2011, sehingga lex specialis tidak berlaku. Padahal Pasal 1338 KUHPer menyebutkan perjanjian adalah perikatan yang sah dan berlaku selayaknya UU bagi para pihak

Menurut penafsiran majelis, Pasal 18 (2) ii Kontrak Karya mengatur tentang "air permukaan untuk mengalirkan tailing dikenakan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu". Padahal pasal tersebut hanya mengatur pemberian hak untuk membangun fasilitas. Menurut majelis, proses pengalirantailing menyebabkan terganggunya ekosistem sungai, sedangkan Pasal 13 Kontrak Karya jo. Perda No. 5 Tahun 1990 menyebutkan pengenaan pajak hanya didasarkan pada jumlah air yang dimanfaatkan, bukan efek samping pemanfaatan air terhadap ekosistem.

"Pungutan-pungutan seperti itu kerap muncul sebagai bagian implikasi dari otonomi daerah," Yustinus memberikan analisis. "Jadi, daerah pun akhirnya seperti berlomba untuk menambah jenis pungutan daerah hanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah."

Maka itu, menurut Yustinus, akhirnya banyak Perda yang lahir justru bertentangan dengan peratuan perundang-undangan. Selain itu, juga tak sedikit Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum, atau pungutan yang hanya bersandar pada keputusan kepala daerah. "Bahkan ada Perda yang sebenarnya sudah dibatalkan, tapi pungutan tetap jalan. Atau, bahkan ada pungutan yang tanpa dasar hukum," katanya.

Seperti diketahui, di awal reformasi lahir UU Nomor 22 Tahun 1999. UU tersebut memang muncul karena desakan dari daerah, yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah. Terlebih, sebelumnya pun sempat muncul berbagai gejolak di berbagai daerah, dari Aceh hingga Papua.

Dari UU Otonomi tersebut, tak pelak wewenang dari pemerintah daerah pun akhirnya makin besar. Dari sana lahir banyak raja-raja kecil, yang bahkan muncul hingga ke tingkat kabupaten atau kota. Tak pelak, berbagai aturan pun bermunculan, dan terkadang cenderung menabrak aturan di atasnya.

Persoalan ketidakpastian pajak pun menjadi bagian persoalan. Pasalnya ketika UU telah memiliki serentetan aturan, di daerah-daerah pun muncul berbagai aturan lainnya, yang acap kali menjadi batu sandungan bagi iklim investasi dan bisnis. Tak hanya bisnis skala besar, terkadang hingga bisnis tingkat lokal pun terkena imbasnya.

Munculnya tren yang terkesan bertolak belakang tersebut pun ditengarai tak lepas kurangnya kemampuan daerah membiaya sendiri penyelenggaraan pemerintahan. Alhasil, pemerintah daerah acap mengambil berbagai langkah agar PAD dapat meningkat. Di sinilah pungutan daerah pun muncul, dan dampak lebih jauh justru terjadi atas daerah itu sendiri. Munculnya ketidakpastian hukum memicu meningkatnya beban pada masyarakat hingga terhambatnya investasi di daerah.

"Jadi sekarang yang dibutuhkan sejatinya adalah certainty, clarity,dan consistency," Yustinus menanggapi kecenderungan buruk yang mengemuka di berbagai daerah terkait aturan yang berhubungan dengan pungutan.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif CITA turut jadi pemateri di acara diskusi publik tersebut - Foto: Zulfikar Akbar
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif CITA turut jadi pemateri di acara diskusi publik tersebut - Foto: Zulfikar Akbar
Tak ketinggalan Ronny Bako yang juga pengacara sekaligus pengamat perpajakan menanggapi persoalan ketidakpastian tersebut tak lepas dari berbagai pemicu di belakangnya. "Sepanjang tak ada kemauan orang untuk menjalankan penerapan hukum dan penegakan hukum, maka takkan ada kepastian hukum," ujar Bako yang juga merupakan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan tersebut.

Di sisi lain, Bako juga menggarisbawahi, tak ada jalan lain bagi pihak manapun yang merasa dirugikan bahkan oleh aturan yang ditetapkan pemerintah, kecuali menempuh hukum. "Di banyak kesempatan, saya sering mengatakan ketika ada yang menyampaikan ganjalan dihadapi mereka, termasuk urusan pungutan, tempuh jalur hukum. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi ini juga cara kita menghargai hukum, dan menyelesaikan sesuatu lewat jalur yang sudah semestinya."

Selama ini, di antara persoalan yang memang acap menyeruak, acap tak lepas dari masalah pada tax certainty atau kepastian aturan terkait pajak. Kasus Pajak Air Permukaan menjadi salah satu momok bagi pelaku usaha. Kasus ini tak hanya menimpa PTFI, tapi juga pernah terjadi di beberapa daerah lain. Sebut saja di Sumatra Utara hingga Kepulauan Riau, terutama yang berkaitan dengan kerancuan PAP di mana pembayaran konsesi kepada BP Batam juga memuat porsi pembayaran kepada pemerintah provinsi Kepulauan Riau.

Maka itu, dari diskusi itu lahir gagasan agar Pengadilan Pajak yang notabene bersinggungan langsung dengan persoalan tersebut, dapat menjadi muara bagi masyarkaat mencari keadilan dan kepastian hukum.

Ekspektasinya, Pengadilan Pajak dapat berperan sebagai agen perubahan karena menciptakan kepastian hukum. Mereka juga dapat melakukan reformasi iinternal dengan meningkatkan standar rekrutmen hakim pajak sampai dengan peningkatan kompetensi dan integritas hakim. Selain itu, mereka juga perlu mencari tata cara peradilan yang mudah, efektif, dan transparan, selain juga supervisi dan pengawasan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun