Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mewaspadai Bahaya Propaganda HTI

3 Oktober 2017   22:34 Diperbarui: 3 Oktober 2017   23:02 2708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: cnnindonesia.com

Sebab, jika niat baik dan cita-cita baik, sering kali akan selalu didukung, bahkan oleh alam itu sendiri. Berbeda halnya jika kebaikan hanya untuk kalangan sendiri dan untuk ideologi sendiri, maka mereka yang berada di luar itu tentu saja takkan diam. 

Terbukti di Malaysia yang disebut-sebut lebih islami dari Indonesia pun menolak HTI. Pada 17 September 2015, pemerintah Malaysia telah memasukkan HTI ke dalam organisasi terlarang. Belum lagi di berbagai negara lain, seperti di Rusia, bahkan Mahkamah Agung di negara tersebut memasukkan Hizbut Tahrir ke dalam 15 organisasi teroris.

Termasuk di Jerman, HTI bahkan dilabeli sebagai organisasi yang telah menyebarkan propaganda kekerasan dan anti semit terhadap Yahudi. Lebih jauh, pemerintah Jerman  bahkan membekukan seluruh izin atas aset mereka, serta memidanakan mereka yang melanggar aturan tersebut.

Lalu sekarang?

Sebaiknya tidak lagi memainkan propaganda yang hanya mengundang keriuhan dan keributan. Akui saja jika HTI tak lebih dari sebuah organisasi, yang dapat berdiri dan mati kapan saja. Terlalu mahal jika demi sebuah organisasi harus mempertaruhkan satu negara. Pemerintah sudah bekerja menunjukkan bahwa Indonesia ini ada bukan hanya untuk menampung satu golongan tertentu, tapi negara ini berada di atas organisasi apa pun. Jadi, cukup jelas, mana yang paling penting dan tak penting. Lagi, janganlah menyamakan HTI dengan Islam. Itu hanya menjadi hasutan yang terlalu berbahaya, ikhwan-ku.

Masih banyak hal baik yang dapat dilakukan. Sebab yang perlu dibela sesungguhnya memang bukan Tuhan, sebab Dia sudah kita imani sebagai Yang Mahakuat. Yang lemah itu adalah manusia, kita, yang masih membutuhkan untuk saling menguatkan; dari sisi pendidikan hingga ekonomi, dan berbagai hal realistis lainnya.

Mengajak bermimpi terlalu jauh hingga ke surga memang tak salah. Persoalannya, jika jalan ke surga dipandang hanya satu; merusak yang telah ada, dan tak memusingkan berbagai risiko yang terlalu besar. Itu dapat dikatakan sebagai jalan ke surga yang sangat buruk. Bagaimana mungkin bisa mencapai yang terbaik (baca: surga) dengan menempuh jalan-jalan terburuk? Toh, bangunan saja, jika dibangun dengan material buruk pun, jangankan mampu menahan gempa, untuk benturan sedikit saja bisa roboh. Seperti juga jalan yang buruk, bagaimana bisa mengantarkan orang-orang ke tempat yang baik, kecuali hanya membuat mereka kecelakaan di jalan atau bahkan terlempar ke jurang.

Jika niatnya adalah kebaikan, masih sangat banyak jalan kebaikan yang bisa diambil. Di negeri ini masih banyak yang lemah, mereka butuh untuk dikuatkan, ada banyak orang-orang yang belum sejahtera dan membantu mereka sejahtera tentu saja mulia. Membantu sesama manusia hidup lebih baik saja sudah bisa menjadi tiket ke surga, kenapa harus merusak yang sudah ada? Pemerintah pun tak punya alasan untuk menghentikan orang berbuat baik. 

Atau, jika keinginannya hanya sekadar berorganisasi? Pramuka jauh lebih terhormat karena di sana Anda bisa belajar mencintai Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun