Kepentingan politik dengan menjual agama tampaknya sudah menjadi tren tersendiri di negeri. Bukti terdekat mungkin dapat ditunjuk organisasi bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ada kecenderungan munculnya propaganda, bahwa mendukung HTI berarti mendukung Islam, dan yang membenci HTI artinya membenci Islam. Lebih tragis lagi, yang mendukung HTI berarti ia beragama Islam, dan yang tak mendukungnya maka bukan Islam.
Ini bahaya. Kenapa? Karena di sini ada permainan beraroma mengecoh. Publik dapat saja terseret kepada pola pikir hingga menarik kesimpulan yang keliru. Sebab, terbilang jarang dikemukakan bahwa Islam adalah sebuah agama, sementara HTI tak lebih dari sebuah organisasi yang penting tak pentingnya tergantung pada manfaat apa yang bisa dibawa.
Kehadiran Islam sendiri di Indonesia memang tak masalah. Toh, agama ini dianut oleh sebagian besar warga negara. Sedangkan HTI, acap dikritik, ditolak, karena memang cenderung terang-terangan dan bahkan terkesan bangga menjadi "duri dalam daging", dan lagi mereka bukanlah agama. Sekali lagi hanya organisasi seperti halnya FPI, PKI, atau organisasi manapun.Â
Artinya, jika memang organisasi itu memang baik, tak hanya yang seagama melainkan yang tidak seagama pun pasti akan mendukung mereka. Sedangkan jika mereka memang bermuka dua, dan hanya membawa dampak buruk bagi rakyat di negeri ini yang memang secara faktual berasal dari berbagai macam etnis dan agama; maka membuang penyakit mematikan menjadi penting.
HTI dapat disetarakan sebagai penyakit mematikan karena mereka bermain dari sisi ideologi, yang rentan mengecoh, dan memang memiliki berbagai bukti kuat jika mereka tidak tulus ber-Indonesia. Toh, apa yang selama ini dianut Indonesia sebagai negara diposisikan sebagai toghut,dan itu menjadi pintu masuk mereka untuk merecoki masyarakat muslim yang masih masuk ke dalam kategori labil dan masih kebingungan mana agama dan mana yang hanya sekadar organisasi.
Selama ini, lewat propaganda "melawan toghut"itulah mereka mendapatkan simpati, menuai dukungan dari berbagai kalangan, hingga dianggap sebagai sebuah kekuatan Islam. Mereka mendapatkan tempat di berbagai kampus, dapat merekrut anggota dari berbagai kalangan, dan "mencuci otak" dengan ide-ide yang memang sudah terkonsep.
Organisasi dan gerakan manapun, cenderung melakukan langkah seperti ditempuh HTI. Bahkan PKI, di masa lalu juga mencari simpati dari masyarakat, dari level akar rumput hingga intelektual, karena organisasi tersebut mampu menciptakan bayangan "surga" yang begitu indah. Jika HTI lebih banyak berbicara surga di akhirat dengan berbagai gambaran bidadari dan alasan-alasan syahwati berbungkus halal, PKI juga berbicara surga di dunia.Â
Sejatinya, yang membedakan hanya dari mana mereka berangkat. Sedangkan caranya tak jauh berbeda. Toh, bukan rahasia jika HTI hari ini juga memiliki anggota di instansi-instansi pemerintah, kecuali militer yang--syukurnya--memang jauh lebih ketat. Ringkasnya, langkah infiltrasi yang mereka lakukan terbilang sudah mendekati sukses.
Andai saja pemerintah tak memiliki penciuman tajam ke mana organisasi itu akan menuju, bukan tak mungkin bahwa cerita perang bukan lagi milik negara-negara di dunia Arab, melainkan dapat saja berpindah ke Indonesia. Toh, secara kekuatan, HTI tinggal menunggu komando, dan jamaah mereka yang telah "menyetarakan" HTI dengan Islam itu sendiri dapat bergerak kapan saja, melahirkan perang, hingga kehancuran.
Apakah lantas dengan sikap pemerintah melarang HTI di negeri sebagai sebuah permusuhan kepada Islam? Dalam hemat saya, tudingan begitu tak lebih sebagai propaganda lebih jauh untuk lebih menguatkan HTI di tengah masyarakat akar rumput yang memiliki referensi terbatas untuk melihat mereka lebih jelas. Sebab, dengan menuding pemerintah sebagai Islamofobia, menjadi pintu masuk lainnya untuk meyakinkan masyarakat muslim bahwa pemerintah hari ini adalah musuh Islam.