Tak mesti mereka yang terbiasa dengan bahasa asing lantas asing dengan bahasa sendiri. Terkadang yang berbahasa asing lebih hati-hati dalam berbahasa, sementara kita yang jarang bicara bahasa asing justru terasing dengan bahasa sendiri.
Kok begini? Ya, begitulah. Ini bukan masalah Anda, tapi masalah saya juga yang terkadang kok banyak salah kaprah dalam berbahasa. Meski di kantor saya bekerja, Kamus Besar Bahasa Indonesia itu bak "kitab suci", tapi kesalahan berbahasa tetap saja terjadi.Â
Setidaknya saya sendiri, sengaja tak sengaja, menjadi salah satu pelaku dosa bahasa.Â
Dosa ini konon memang tidak diperhitungkan malaikat, tapi percayalah kesalahan ini tak hanya membuat Anda "masuk neraka" tapi juga menyeret para pembaca bersama-sama dalam neraka penuh asap hitam bernama penyesatan. Alih-alih mencerdaskan, justru para pembaca justru turut tersesatkan.
Tak perlu muluk-muluk, penggunaan kata "sekadar" saja acap tertukar dengan "sekedar". Sebab, kita sendiri merasa telah cukup dengan menghafal kosa kata dari zaman Belanda, dan lupa jika Belanda sudah lama tak lagi di sini; tapi kebodohan berbahasa masih di sini.Â
Eh jika merasa dibodohi, netralkan perasaan itu dengan meyakinkan diri, bahwa saya yang menulis ini sedang menasihati diri sendiri. Sebab, berprofesi di dunia jurnalis pun tak lantas selamat dari sikap gegabah berbahasa.
Sebut saja misal, dalam penggunaan kata "respon" dengan "respons", mana yang benar? Celaka jika di rumah tak ada KBBI, dan tak kalah celaka jika kita bahkan tidak tahu di internet sudah banyak kamus daring.
Saya juga celaka, lantaran dulu sempat memburu KBBI dengan harga miring di Blok M, yang justru bikin otak saya mendadak ikut miring.Â
Bagaimana tidak, kamus saya beli itu cacat, karena ada beberapa halaman yang hilang. Baru "ngeh" belakangan jika kamus Rp 300 ribuan berani dihargai seratusan, ya, gara-gara ada halaman yang cacat itu.
Kok jadi lari ke soal saya yang turut celaka membeli kamus cacat? Begitulah, jika tak bisa menghargai kamus bahasa, bagaimana berharap bisa selamat dari kesesatan berbahasa. Jika kamus bahasa sendiri saja masih terasa asing, lalu bagaimana berharap diri menjadi penulis yang tak diasingkan pembaca?
Lha, kita kan sedang berperan sebagai blogger, buat apa terlalu serius berbahasa? Tunggu dulu. Sebab kita blogger pun ada bukan untuk menyesatkan pembaca, setidaknya dalam berbahasa.
Lalu... apakah Anda berhasil menemukan kekeliruan berbahasa di artikel ini sendiri? Jika tidak, bukan berarti saya sudah sangat tepat berbahasa, melainkan kita mungkin sama-sama memang harus lebih akrab dengan "kitab suci" bahasa itu tadi (kamus). Setuju? Jangan takut mengiyakan, toh saya bukan sedang mengajak berpoligami. Eh.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H