Ibarat cerita kambing kampung dan kambing hutan, ketika tanaman di kebun rusak maka kambing yang ada di kampung itulah yang kena lemparan. Sementara yang membuat seisi kebun rusak pastinya bukan mereka saja. Sayangnya, saat kambing hutan pun yang merusak, tetap saja kambing kampung jadi sasaran lemparan itu lagi.
Ya, itu hanya perumpamaan yang masih dapat dikaitkan dengan rencana pemerintah DKI Jakarta menerapkan pembatasan kawasan yang boleh dimasuki sepeda motor. Pemicunya, untuk mengurangi kemacetan, dan motor dikesankan sebagai sumber masalah tersebut. Sedangkan mobil, sejauh ini terkesan cukup hanya dengan pembatasan ganjil genap--yang riilnya tetap saja diakali banyak pemilik kendaraan roda empat itu.
Katakanlah pemerintah DKI punya niat baik untuk menjawab persoalan kemacetan itu, tapi dengan rencana ini terlihat, niat baik itu tak diikuti gagasan yang benar-benar baik. Ada yang terkesan luput diperhatikan, dari kalangan mana saja para pesepeda motor itu berasal. Nyaris dapat dipastikan sebagian besar mereka yang mengandalkan sepeda motor adalah kalangan menengah ke bawah.
Sepeda motor bagi mereka tak hanya sekadar tunggangan, tapi dengan itu juga mereka menyambung hidup mengumpulkan serupiah demi rupiah. Tunggangan itu sendiri didapatkan--seringnya--dengan cara kredit. Dengan itu juga mereka memikirkan kebutuhan hidup, dan memikirkan bagaimana agar kredit tak menunggak.
Seharusnya mereka menggunakan kendaraan umum saja. Sudah tahu mereka menjadi sumber masalah kenapa tidak sadar diri. Toh kendaraan umum paling membantu dan terdengar sangat mulia sebagai andalan sebagian warga kota ini. Tunggu dulu, sederet kalimat itu hanya milik mereka yang leluasa bergerak dengan tunggangan berpendingin tak ubahnya di kamar rumah mereka sendiri.
Sementara mereka yang betul-betul merasakan seperti apa menjalani keseharian dengan kendaraan umum, meski lebih memilih bungkam saja daripada meributkan hal yang gemar diributkan orang-orang penyuka keributan. "Kalian hanya membuka mulut, dan bahkan tidak menyadari seperti apa aroma mulut sendiri," kira-kira begitulah gerutuan, yang acap tak terungkap.
Setidaknya, nada kalimat gerutuan itu juga sempat berkelebat di kepala saya yang berisi sekian puluh helai uban, dan mewakili sekian puluh ribu gerutuan. Terlebih saat di salah satu halte angkutan umum ada ibu-ibu yang pingsan lantaran tak tahan berdesakan. Atau, kali lain, ada  ibu-ibu hamil tak bisa bersuara lantaran harus berdiri lama, bahkan tak ada yang menggubris meskipun sama-sama berstatus penumpang kendaraan umum.
Kendaraan umum semestinya memang menjadi jawaban di tengah keriuhan yang hampir tak pernah reda setiap kali muncul gagasan indah tentang kota yang bebas dari kemacetan. Gagasannya saja yang indah, sejatinya, sedangkan realitanya seperti berjalan sendiri. Setidaknya sejauh ini begitulah yang terjadi.
Gagasan-gagasan indah itu lebih terlihat mirip sekadar coba-coba. Ya, Anda yang sering "ngelayap" dapat melihat langsung seperti apa wajah realita, dan seperti apa jika disandingkan dengan gagasan indah yang lebih mirip muluk itu. Aturan dibuat bagus, niat pun terkesan sangat mulia, tapi sasarannya bukan langsung ke pokok persoalan.
Tengok saja dari tahun ke tahun. Per 2015 saja, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya sempat membeberkan, betapa pertumbuhan kendaraan roda empat saja mencapai 1.600 unit per hari--menurut laporan AntaraNews.com, 9 Januari 2015. Itu dua tahun lalu, dan tak sulit menebak seperti apa sudah hari ini.Â
Berkaca ke angka per dua tahun lalu saja, pertumbuhan jalannya hanya 0,01 persen, menurut laporan Dirlantas Polda Metro. Angka 0,01 persen itu sendiri tak hanya sekadar perbandingan jumlah kendaraan dengan penambahan akses berupa jalan, tapi cukup menjadi gambaran seperti apa solusi dan masalah. Ketika solusi hanya terkesan coba-coba, masalah telah menggurita. Celakanya, dalam sekian coba-coba, lagi-lagi mereka yang hari ini mau makan apa pun menjadi mangsa. Mau bagaimana lagi?
Lihat saja lagi bagaimana sejak Desember 2014, Dinas Perhubungan DKI Jakarta memberlakukan pembatasan sepeda motor sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat. Apa iya, itu kemudian betul-betul menjadi solusi?
Lalu apakah sebaiknya tak ada aturan larang-melarang? Tidak juga, namun sebaiknya jangan sampai aturan dibuat sebegitu indah namun jalan keluar sebagai alternatif untuk mereka yang menjadi sasaran aturan itu hanya ala kadarnya saja. Sia-sia jika pembuat aturan bisa melihat itu sebagai prestasi, sementara sasaran aturan bisa saja merasakan itu sebagai tragedi; utang tak terbayar, asap dapur tak mengepul, hingga anak istri membuat api di kepala mereka juga makin mengepul. Sebab ini berkaitan erat dengan rakyat biasa, yang lebih sering berpikir hari ini bisa memberi apa untuk keluarga?
Lebih jauh, jangan sampai aturan ada hanya untuk memanjakan yang telah kaya, namun justru menciptakan masalah atas mereka yang hari ini hanya menyandang status sebagai rakyat biasa. Perlu kiranya pembuat kebijakan untuk melihat lebih bijak realita yang ada di tengah mereka, dan menjadikan perspektif mereka sebagai salah satu acuan. Setidaknya jangan sampai nanti aturan ada hanya untuk dilanggar, dan berujung pada drama polisi dan pengendara hanya saling kejar, saat pembuat kebijakan justru tertidur hingga lumpuh di depan mimpi mereka sendiri.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H