Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Telegram dan Jurus Eutanasia ala Kemenkominfo

15 Juli 2017   06:01 Diperbarui: 15 Juli 2017   19:27 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam kasus Telegram, sebaiknya pemerintah mencari alternatif lebih bijak - FOTO: Technocrunch.com

Jika memetakan kebijakan pemerintah belakangan ini memang ada upaya keras dan komprehensif untuk membendung ancaman keamanan. Masing-masing kementerian seperti didorong untuk menciptakan sebuah solusi dan langkah konkret.

Jika di tingkat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan menyasar kalangan organisasi kemasyarakatan yang dinilai mengusung ideologi yang melawan negara, tampaknya pemerintah ingin membuat semua stakeholders dan kalangan yang memiliki hubungan dengan persoalan itu urun andil membawa solusi.

Tragisnya, Kemenkominfo terkesan kalap. Tak ingin dikatakan kurang berani mengambil terobosan dan keputusan, alhasil Telegram menjadi sasaran.

Tak bisa ditampik jika aplikasi itu punya andil membuat kalangan teroris leluasa menyusun rencana dan membangun sel-sel di lintasnegara. Tapi apakah betul hanya aplikasi ini yang "paling berdosa".

Saya kira tidak. Sebab ISIS yang notabene melek perkembangan teknologi tak hanya mengandalkan "senjata" satu jenis saja. Jika dalam perang fisik mereka pu memiliki berbagai alat perang yang tak kalah kelas dari kekuatan militer normalnya, di level propaganda pun mereka tentu saja takkan terlalu polos mengandalkan satu saluran saja.

Toh bukan rahasia jika dari awal isu ISIS merebak, mereka memanfaatkan nyaris segala media sosial; Facebook, Twitter, YouTube, nyaris tak ada yang terlewatkan. Dari sana mereka mampu merekrut kadernya.

Tak sedikit laporan media massa yang melansir pengakuan kalangan pemuda yang belakangan menjadi kader ISIS, terekrut lewat media sosial di luar Telegram, misalnya; Facebook atau Twitter.

Media sosial itu relatif lebih mudah untuk diintai pemerintah, dari intelijen hingga semua aparat pemerintah berwenang. Apakah kemudian penanggulangannya betul-betul lebih mudah? Tidak juga. Pemerintah tetap saja kebobolan, walaupun proses perekrutan hanya dilakukan lewat fasilitas chat Facebook.

Apakah lantas dengan fakta itu semua media sosial harus diharamkan dari negeri ini? Menurut saya itu langkah pengharaman yang sangat kontraproduktif dan terkesan mundur. Semestinya yang "diharamkan" itu adalah kemalasan berpikir aparat pemerintah dalam mencari langkah membendung penetrasi kalangan teroris.

Sebab, jika sepakat menyebut masalah ada pada kalangan teroris, apakah tepat jika publik yang tak terlibat pun harus terkena efek dari keputusan yang "pukul rata". 

Sebab jika mengaitkan dengan dunia medis pun, sebagai perumpamaan, jika penyakit paling berbahaya terdapat di satu titik maka kalaupun harus diamputasi hanya bagian paling berisiko. Tak lantas harus diamputasi hingga satu badan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun