Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fadli Zon dan Tanda Tanya Seorang Rakyat

10 Juli 2017   06:50 Diperbarui: 12 Juli 2017   13:27 4792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Takjub. Itulah saya rasakan setelah menyadari akun Twitter pribadi diblokir salah satu anggota legislatif yang terhormat itu, Fadli Zon. Apa salah saya? Ya, jelas salah, setidaknya menurut dia, karena kerap melemparkan kritikan tajam kepadanya. Tapi apakah saya benar-benar merasa bersalah? Nah, itu yang harus saya lihat dulu.

Begini, Fadli Zon ini memang tak pernah saya pilih. Saya bukan pemilihnya. Dia lantas bercokol di kursi legislatif, lha ya karena banyak juga yang mungkin merasa terwakili olehnya; mewakili aspirasi atau sekadar sakit hati.

Lha terus saya merasa berhak mengkritiknya dari mana? Tentu saja saya harus mencurigai diri daripada terlalu cepat mencurigainya bukan?

Posisi saya cuma rakyat. Dia wakil rakyat. Tapi saya tak memilihnya, tak lantas membuat statusnya tercerabut sebagai wakil rakyat yang otomatis tetap saja sebagai wakil saya sebagai rakyat. Ya, mau bagaimana lagi? Toh dia sudah dipercaya, hingga badannya pun makin berlemak saja di sana. Bukan salah dia, setidaknya soal lemak di badan itu tadi. Sebab menjadi anggota dewan itu memang jembatan untuk membantu lemak makin bertumpuk karena begitu nyamannya kursi dan ruangan ber-AC di sana.

Lha, terus apa hak saya mengkritiknya hingga dia tersinggung dan melakukan blokir atas akun Twitter saya? Ya, lagi-lagi karena saya adalah rakyat, yang bagaimanapun tetap terseret oleh statusnya.

Saat merasa ada sikap atau pernyataannya yang saya rasa tidak mewakili rakyat, jadi saya lemparkan saja kritik kepadanya. Sebagai anggota dewan memang bekerja mengawasi pemerintahan, sebagai salah satu tugasnya tapi masak iya yang mengawasi tak boleh diawasi? Itu satu.

Dengan peran dan salah satu tugasnya mengawasi, Fadli Zon memang perlu memberikan kritikan kepada pemerintah. Itu juga sudah merupakan hal yang benar dilakukannya. Lalu yang tak benar di mana?

Ya di situ. Saat dia rajin melemparkan kritikan, tapi dia sendiri tak siap dikritik. Saat dia tanpa beban menyemburkan kritikan, tapi kok mual-mual saat giliran rakyat mengkritiknya?

Tidak adil dong. Masak mau mengkritik saja tapi berharap dipuji saja atas semua kritikannya, tanpa mau menerima saat dikritik balik. Mental begini seharusnya tidak menjadi milik wakil rakyat, sebab mental ini seolah menuduh rakyat cengeng.

Kok rakyat cengeng? Ya, secara perannya memang wakil rakyat toh? Apa lagi jika bukan menuduh rakyat cengeng jika si wakil yang merasa mewakili rakyat justru cengeng. Sedikit dikritik karena kerap mengeluarkan pernyataan tidak penting, kok ya main blokir saja. Bagaimana bisa rakyat berkomunikasi dengannya? Apakah saya harus berdemo dulu seperti sekelompok rakyat yang rajin disokong olehnya?

Jika demo menjadi keharusan karena tak ada keran lain untuk berkomunikasi dengan wakil rakyat, sama saja dia menyusahkam rakyat. Lha namanya rakyat, saban hari harus bekerja, apa dia yang didemo bersedia membayar ganti rugi satu hari jika seorang rakyat tidak bekerja?

Halo Pak Fadli Zon, betulkan dulu kacamata Anda. Media sosial itu hari ini menjadi kanal rakyat berkomunikasi dengan siapa saja, terutama wakil rakyat yang selama ini terlihat lebih mementingkan untuk menggemukkan badan saja alih-alih melakukan sesuatu yang berguna untuk rakyat.

Jadi kritikan saya via Twitter itu karena merasa itu bagian hak saya sebagai rakyat. Toh, Anda sering sesumbar soal demokrasi, soal hak rakyat, soal keharusan pejabat negara mendengarkan suara rakyat, bukan?

Masa Anda hanya mendukung jika rakyat itu hanya mengarahkan kritikan kepada lawan politik Anda saja. Ini bukan mental wakil rakyat, tapi lebih tepat menjadi pengamen saja; yang lain harus diam, dan Anda menyanyi sesukanya tanpa peduli orang suka atau tidak dengan nyanyian Anda.

Jika rajin melemparkan kritikan tapi diri sendiri berkuping tipis, namanya tidak siap. Bagaimana bisa bicara demokrasi, jika dalam menerima kritikan yang tertakar saja Anda tidak kuat.

Ya, saya sebagai rakyat pun mengkritik Anda tetap dalam takaran. Pedas, tapi dengan tingkat kepedasan yang lebih dulu saya icip sendiri, barulah saya hidangkan kepada Anda.

Artinya saya adalah salah satu rakyat yang tak sampai hati mengkritik Anda terlalu sadis. Belum pernah, misalnya, saya mengkritik sampai membuat meme yang menunjukkan Anda sedang melakukan tindakan tidak senonoh dengan istri atau perempuan di lingkaran partai Anda. Sebab, sebagai rakyat yang masih waras, saya masih melihat ke diri sendiri, bagaimana jika saya diperlakukan begini.

Sedangkan tempo hari, Anda pernah tampil bak pahlawan saat salah seorang rakyat mengunggah gambar tidak beretika tentang presiden. Anda membela si pengunggah meme tersebut dan berujar jika presiden terlalu sensitif jika karena gambar itu saja merasa tersinggung--padahal tak ada pernyataan presiden yang mengaku tersinggung karena masalah itu.

Yang seperti dilakukan lewat meme itu Anda kesankan sebagai kritikan biasa, dan itu wajar dalam demokrasi. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Anda jika saya latah mengkritik Anda dengan membuat meme serupa itu. Mungkin saja Anda tak hanya memblokir akun media sosial, tapi mungkin akan mengerahkan "sejuta umat" seperti yang Anda bonceng selama ini. Itu kecurigaan saya sih, anggap saja "suuzhon" saja sebagai rakyat.

Saya menolak cara melemparkan kritikan dengan hal-hal berbau keji dan melecehkan martabat sebagai manusia. Maka itu, saat saya melempar kritikan lewat media sosial pun, saya memilih cara pedas, tapi tetap saya ukur.

Lha, sayangnya cara saya melemparkan kritikan tampaknya cukup membuat Anda tersinggung. Apakah saya memang harus meniru pelempar kritik yang pernah Anda bela?

Cara itu jelas tidak mendidik. Demokrasi sehebat apa pun tak lantas membenarkan kritikan dengan cara merendahkan martabat sebagai manusia--bukan martabat anggota dewan saja. Jadilah saya memilih mengkritik lewat media sosial meski tidak mem-follow Anda, dan lewat kalimat-kalimat murni kritik saja.

Reaksi Anda sekilas elegan. Diam-diam melakukan blokir. Anda tampaknya tak ingin berpolemik, atau larut dalam perdebatan tidak perlu. Tapi jika menutup keran komunikasi, lha bagaimana rakyat yang Anda wakili--entah yang memilih Anda atau tidak--bisa menyampaikan aspirasinya? Bukankah aspirasi itu juga mencakup kritikan, yang tak hanya tertuju kepada lawan politik Anda tapi juga atas Anda sendiri; bagaimana agar lebih peka pada suara dan kepentingan rakyat, tak melulu hanya bergerak atas kepentingan politik pribadi dan golongan saja.

Masak sih jadi wakil rakyat tapi hanya mendedikasikan diri untuk kepentingan politik kalangan sendiri? Jika begini untuk apa kami rakyat bersusah payah banting tulang dan membayar pajak, cuma untuk menggaji wakil rakyat model begini?

Jika seperti itu, terus terang, saya lebih ikhlas sebagai rakyat jika pajak saya ditujukan untuk menggaji tukang sampah. Mereka yang terbilang bergaji kecil itu bisa bermanfaat besar, membuat sudut ke sudut kota hingga desa tetap bersih. Melihat lingkungan bersih, pikiran pun terasa jernih.

Sementara jika menggaji wakil rakyat yang berbicara tanpa menyadari mana yang bermanfaat dan mana yang lebih mirip sampah, sulit untuk ikhlas, lho. Apalagi bukan rahasia, kalangan Anda lebih banyak meminta daripada memberi; minta gaji tinggi, minta tunjangan besar, minta fasilitas mewah, sampai anak sendiri jalan-jalan ke luar negeri pun mau dimanjakan negara. Lalu manfaat Anda apa?

Wakil rakyat itu manusia. Rakyat juga manusia. Jika satu dengan lainnya membatasi diri berkomunikasi, secara positif bukan menggunakan meme-meme tanpa akhlak, bagaimana berharap demokrasi berjalan semestinya toh?

Bukankah wakil rakyat juga godaannya besar; dari regulasi bersifat transaksional, kepentingan korporasi dan bisnis, yang memang menjanjikan uang jauh berkali lipat dari gaji dan tunjangan. Di situlah rakyat, termasuk saya di dalamnya, berpikir wakil rakyat pun harus diawasi agar tak seenaknya sendiri. Di situlah kami sebagai rakyat merasa perlu mengkritik Anda.

Sekali lagi, kritikan dalam dunia demokrasi itu bukan hanya mata panah yang harus tertuju ke lawan politik Anda saja. Jika Anda berharap kritikan bermunculan hanya begitu, sama artinya Anda mendudukkan rakyat tak lebih sebagai kuda tunggangan yang hanya untuk mengantarkan kepentingan politik Anda. Jika wakil rakyat memiliki kualitas hanya begini, sekali lagi, menggaji tukang sampah jauh lebih bermanfaat sebab mereka lebih layak digaji lebih tinggi. Atau Anda hanya ingin alih profesi ke sana? Rasanya itu lebih baik, karena manfaat Anda lebih terasakan oleh lebih banyak orang. Selain, rakyat yang menggaji Anda pun tak lagi merasa sia-sia membayar pajak untuk berjalannya roda kehidupan negeri ini.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun