Andai saja Tuhan bisa meyakinkan saya akan kaya mendadak dengan itu, tampaknya saya bersedia berkeliling Jakarta cuma untuk memburu semua buku puisi, dari Gibran hingga Sapardi Joko Darmono. Tapi, jikapun Tuhan meyakinkan saya itu bisa terjadi--kaya mendadak berkat jasa menulis kalimat lebaran--tetap saja saya merasa bersalah; meski kalimat maaf seindah puisi, tetap saja itu tak lebih dari basa-basi.
Bukankah, idealnya, permintaan maaf itu adalah permintaan tertulus dari lubuk hati terdalam, kan? Kenapa harus dipoles-poles? Mending kalimat bikinan sendiri. Lha ini sudah mencuri, dan dengan "barang curian" lalu berharap hasil baik; dimaafkan dosa dan salah seabrek.
Apakah kita tidak curiga kepada diri sendiri; jika mental begini tak bedanya dengan mereka yang korupsi lalu berharap itu seketika halal dengan berhaji?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H