Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kala Kendaraan Berpelat Jakarta Sesaki Bandung

24 Juni 2017   00:53 Diperbarui: 24 Juni 2017   01:42 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran kemacetan sepanjang jalur Puncak hingga Bandung - FOTO: Zulfikar Akbar

Kemarin, saat merambah jalanan Jakarta ke Bandung, delapan jam perjalanan lewat jalur Puncak dalam kondisi puasa tak lagi terasakan sebagai alasan lelah. Ya, setelah dari masuk ke Cianjur hingga Bandung, penduduk setempat terlihat pasrah.

Sejatinya mereka itu berhak marah-marah. Sebab gara-gara pemudik, mereka harus mengalami kemacetan di kota mereka sendiri dalam durasi lebih lama.

Kedatangan pemudik dari Jakarta memaksa mereka harus tertahan perjalanan selama berjam-jam.

Polisi kerap dengan terpaksa menutup sementara beberapa ruas jalan, hingga menahan laju kendaraan penduduk setempat.

Ya, ini gara-gara pemudik, salah satunya saya sendiri.

Tak terbayang bagaimana kejengkelan mereka, berdiam diri di tengah terik matahari, tak bisa berjalan. Namun alih-alih menunjukkan kejengkelan, dari balik helm saya melihat wajah-wajah pasrah.

Tampaknya mereka maklum, jika polisi memberlakukan kebijakan buka tutup jalan-jalan tertentu bukan tanpa alasan. Tanpa campur tangan polisi, risiko kemacetan bisa lebih tragis lagi.

Bagaimana tidak, berbagai kendaraan berpelat Jakarta sedang membanjiri jalanan.

Sangat terasakan, kedatangan pemudik ini bak siksa bagi mereka. Tapi, lega dan saya tak larut dalam perasaan berdosa melihat wajah-wajah mereka memancarkan kerelaan.

Tapi di sini saya menemukan nilai puasa. Bayangkan jika di hari biasa, macet beberapa menit saja bisa menjadi alasan banyak orang memaki hingga berkelahi. 

Sedangkan di saat begini, tak ada caci maki; puasa sedang menunjukkan kelebihannya.

Semua terlihat saling maklum. Ah, ini momen yang terasa sangat indah, setelah di Jakarta kerap muncul pemandangan sumpah serapah di jalanan saban terjadi kemacetan. Wajah persahabatan terlihat di jalanan, mampu menghilangkan rasa haus dalam perjalanan jauh.

Penerimaan mereka, mampu membantu saya melupakan lamunan nikmatnya segelas air di tengah kehausan di perjalanan.

Saya merasa menemukan Indonesia yang sesungguhnya dari sini. Ada yang bersedia mengalah, dan ada nilai saling menghargai.

Di sinilah terasa, mudik tak hanya sekadar tradisi. Tapi ia menjadi momen untuk kembali menemukan keaslian jatidiri; persahabatan dan persaudaraan.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun