Kemarin, saat merambah jalanan Jakarta ke Bandung, delapan jam perjalanan lewat jalur Puncak dalam kondisi puasa tak lagi terasakan sebagai alasan lelah. Ya, setelah dari masuk ke Cianjur hingga Bandung, penduduk setempat terlihat pasrah.
Sejatinya mereka itu berhak marah-marah. Sebab gara-gara pemudik, mereka harus mengalami kemacetan di kota mereka sendiri dalam durasi lebih lama.
Kedatangan pemudik dari Jakarta memaksa mereka harus tertahan perjalanan selama berjam-jam.
Polisi kerap dengan terpaksa menutup sementara beberapa ruas jalan, hingga menahan laju kendaraan penduduk setempat.
Ya, ini gara-gara pemudik, salah satunya saya sendiri.
Tak terbayang bagaimana kejengkelan mereka, berdiam diri di tengah terik matahari, tak bisa berjalan. Namun alih-alih menunjukkan kejengkelan, dari balik helm saya melihat wajah-wajah pasrah.
Tampaknya mereka maklum, jika polisi memberlakukan kebijakan buka tutup jalan-jalan tertentu bukan tanpa alasan. Tanpa campur tangan polisi, risiko kemacetan bisa lebih tragis lagi.
Bagaimana tidak, berbagai kendaraan berpelat Jakarta sedang membanjiri jalanan.
Sangat terasakan, kedatangan pemudik ini bak siksa bagi mereka. Tapi, lega dan saya tak larut dalam perasaan berdosa melihat wajah-wajah mereka memancarkan kerelaan.
Tapi di sini saya menemukan nilai puasa. Bayangkan jika di hari biasa, macet beberapa menit saja bisa menjadi alasan banyak orang memaki hingga berkelahi.Â
Sedangkan di saat begini, tak ada caci maki; puasa sedang menunjukkan kelebihannya.