Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekuatan KPK versus Ukuran Lebar Mulut Fahri Hamzah

22 Juni 2017   03:57 Diperbarui: 22 Juni 2017   18:05 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada maling yang memuji polisi, dapat dipastikan itu adalah maling yang sudah taubat. Begitu juga KPK, sepanjang menjadi hantu bagi koruptor, mereka tak bermain Ayat Kursi, tapi mencari kursi sebanyak-banyaknya untuk mengeroyok mereka.

Apa yang tak bisa dilakukan koruptor, coba? Maling tradisional saja--yang tidak pernah makan bangku sekolah karena bangkunya terlalu keras--bisa melakukan perlawanan tersendiri terhadap polisi; setidaknya meski meringis-ringis saat diinterogasi, di belakangnya pasti memaki-maki.

Apalagi para koruptor. Dengan uang segudang, mereka bisa bikin aktivis minderan seperti Fahri Hamzah berapi-api bicara untuk menunjukkan; KPK tidak penting. Sebab wakil rakyat yang tidak penting seperti itu cenderung mencari alasan agar kalangan lain pun terlihat tidak penting.

Lalu siapa yang penting bagi wakil rakyat seperti Fahri? Ya, yang bisa memuluskan kepentingannya. Sebab apa yang paling penting memang kepentingan.

Toh, tanpa partai pun ia masih bisa melenggang di Senayan sana. Bahkan saya setiap kali melewati gedung DPR RI itu, terbayang-bayang mulutnya Fahri tiap kali bicara. Jika saja saya gay, mungkin ini sudah level jatuh cinta. 

Ya begitulah gambaran begitu kuatnya pengaruh mulut Fahri. Saya yakin jika ia ditakdirkan lahir dengan kelamin berbeda, dia akan menjadi musuh perempuan sedunia; karena ada saja hal tidak penting keluar dari mulutnya.

Sayang sekali, Partai Keadilan Sejahtera yang telah menyulapnya menjadi wakil rakyat pun tak berdaya untuk membuat mulut Fahri lebih berisi lebih dari sekadar gigi dan gusi.

Tapi, apa iya, Fahri ingin membantu para koruptor? Katakan saja tidak. Toh dia orang saleh, rajin sembahyang, dan mengaji, manalah mungkin membela mereka. Lebih tak mungkin lagi jika dia sendiri yang diam-diam mungkin korupsi.

Tak beranilah kita menyangka yang tidak-tidak atas orang yang begini. Salah-salah kita sendiri yang tertimpa musibah berupa kutukan memiliki mulut dengan bentuk seperti mulutnya. Anda bayangkan saja, apa Anda bisa se-pede dia bicara jika bentuk mulutnya mirip dia? 

Tunggu. Bukan pede atau percaya diri, dia itu tetap saja aktivis minderan, sebenarnya. Kenapa? Karena jika tidak memaksa diri selalu tampil beda, maka dia berisiko dianggap tidak ada.

Sekarang, orang seperti Fahri bisa mendapatkan posisi di tengah kalangan wakil rakyat memang modalnya apa? Ya mulutnya saja, bukan?

Apakah isi mulutnya berisi melebihi sekadar gigi dan gusi? Saya juga belum menemukan itu. Entah Anda. Bagi dia, mulutnya itulah yang telah berjasa besar membuat namanya besar. Dia sendiri pun mulai besar kepala, pelan-pelan.

Lihat saja bagaimana bentuk mulutnya setiap kali bicara tentang KPK. Andai di lembaga itu terdiri dari orang-orang pemarah, atau seperti Rizieq Shihab, misalnya, mungkin mulut Fahri sudah ditampar berkali-kali.

Syukurnya KPK itu masih banyak orang-orang sabar. Mereka pun sejauh ini tampak tak mencari-cari kesalahan Fahri, meski mereka tahu, dari 200 juta lebih mulut di negeri ini, yang paling sering terbuka untuk hal-hal tak berfaedah, Fahri mungkin layak dapat medali.

Medali apa? Medali pemilik mulut paling aktif se-Indonesia. Mungkin dia jarang ciuman. Jarang merasakan hal enak-enak, banyak hal tidak mengenakkan keluar dari mulutnya.

Coba saja andai dia rajin ciuman, misalnya, maka dia tahu bahwa mulut itu lebih baik menyenangkan, membahagiakan, dan tidak menyakitkan.

Sekarang, dengan bentuk mulutnya seperti itu, dan isi mulut begitu, yang dia bikin senang itu tak lain cuma kalangan koruptor saja. Jangan lupa, bosnya sendiri pernah jadi koruptor bukan? 

Ada seribu koruptor yang gembira dengan pernyataan-pernyataannya, maka kalikan saja, berapa juta orang yang bisa menjadi korban.

Ingat, berhektar-hektar sawah pun bisa habis dari beberapa ekor tikus saja. Makin mereka kenyang, makin banyak mereka beranak. Makin beranak makin cepat seisi sawah dihabiskan. 

Di situlah kelebihan Fahri. Dia makin mirip seperti peternak tikus. Soal apakah kelak tak ada padi yang dapat dibawa pulang petani sesungguhnya, itu bukan masalah dia sendiri. Itu masalah si petani itu saja.

Menurut Fahri, apa artinya ada pemburu tikus jika dengan keberadaan mereka justru diketahui malah makin banyak sarang tikus dan jumlah tikus itu sendiri.

Lalu, mungkin karena mulutnya sedang lelah karena terlalu bekerja keras dengan bagian fisik itu saja, ia menulis tweet. 

Twitter tampaknya menjadi mulut cadangan baginya. Jika mulut pertama sedang kecapaian maka mulut kedualah yang bekerja.

Di sana dia menulis, apa artinya KPK jika dengan kehadiran mereka justru kini makin banyak koruptor tertangkap tangan.

Itu sungguh-sungguh bikin saya penasaran. Apakah dia tipe pria berkutu, sehingga gangguan di kulit kepala berpengaruh pada isi kepalanya? Entahlah.

Tapi, cibirannya kepada KPK itu sungguh-sungguh bikin saya ingin bicara kepadanya. "Bro, kau berhenti saja dari jabatanmu sekarang. Keberadaanmu di sana itu alih-alih berkontribusi besar, justru menumbuhkan budaya terburuk dari yang pernah ada; berlomba-lomba siapa bermulut besar."

Sudah. Kau memang sudah menang berdasarkan ukuran mulutmu itu. Jangan kautambah menjadi lebih besar. Negeri ini sedang butuh orang yang punya pikiran besar dengan karya besar. Salah satunya, memberangus koruptor yang sedang kaubela dengan mulutmu itu."*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun