Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ke Masa Lalu Jogja dari Benteng Vredeburg

20 Mei 2017   00:07 Diperbarui: 20 Mei 2017   01:22 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian diorama yang ada di dalam museum - Gbr: Zulfikar Akbar

Patung-patung dan diorama yang ada di sana memang bercerita banyak, meski dapat dikatakan tak mewakili situasi seluruhnya yang pernah mewarnai benteng ini.

Seperti jamak diketahui, Benteng Vredeburg, memang memiliki banyak kisah. Sekalipun penamaan Vredeburg sendiri dimaksudkan sebagai “Benteng Kedamaian”. Sementara dalam sejarahnya, di benteng ini juga pernah menjadi tempat penahanan; terutama ketika Jepang mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda, Vredeburg juga menjadi tempat tahanan.

Bahkan serdadu Jepang tak hanya menjadikan benteng ini untuk penjara yang menampung para pejuang yang diklaim sebagai pemberontak. Mereka juga menjadikannya sebagai tahanan, sekaligus menyiksa para pejuang. Tak terkecuali setelah Jepang hengkang pun, militer Indonesia juga pernah menjadikannya sebagai barak tentara.

Dua sahabat, Pak Isson dan Pak Iskandar, di depan pagar Vredeburg membaur bersama warga - Gbr: Zulfikar Akbar
Dua sahabat, Pak Isson dan Pak Iskandar, di depan pagar Vredeburg membaur bersama warga - Gbr: Zulfikar Akbar
Ada kabar yang menyebutkan, masyarakat yang dicurigai pernah terlibat dengan Partai Komunis Indonesia pun dipenjarakan di benteng ini. Lagi-lagi, darah dan kematian, konon tetap menjadi bagian cerita Vredeburg bahkan setelah Indonesia merdeka.

Tampaknya, harapan yang diwakilkan dalam nama Vredeburg sebagai “Benteng Perdamaian” baru betul-betul terjadi setelah muncul gagasan dari Ki Hajar Dewantara. Dalam beberapa literatur disebutkan jika pengalihfungsian benteng ini menjadi museum, terjadi lantaran ide dari tokoh pendidikan sekaligus penggagas Taman Siswa tersebut.

Ide itu sendiri tercetus pada tahun 1947, namun baru betul-betul terealisasi pada 1980, setelah Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menemukan kata sepakat dengan Sultan Hamengkubuwono IX.

Sekarang, sekeliling benteng ini memang memiliki warna tersendiri selayaknya bangunan yang berdiri di tengah kota. Para pengamen hingga seniman jalanan lainnya mengitari pagar museum. Beberapa bahkan terlihat berjualan di dalam area pagar museum, dan menggelantungkan dagangan di pagar-pagarnya. Sedikit kurang elok dipandang, tapi pemandangan ini tetap mewakili realita masyarakat; bahwa tak ada yang betul-betul sakral ketika sudah bicara urusan mata pencaharian.*

---

Artikel ini juga tayang di situs blog pribadi: www.tularin.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun