“Gue saja kaga pernah masuk ke dalam Museum Vredeburg,” begitulah pengakuan seorang teman saya, yang menjalani sebagian hidup di Yogyakarta hingga menamatkan kuliah di sana. Tentu saja, menjadi keberuntungan bagi saya, pada 14 Mei ini justru berkesempatan menyambangi museum itu.
Ini memang bukan kunjungan pertama saya ke kota bersejarah tersebut. Sebelumnya, di masa lajang, saya pernah ke sini persis sepuluh tahun lalu.
Entah kebetulan atau sudah menjadi suratan tersendiri, pertama ke Jogja satu dekade lalu pun terjadi di bulan Mei, seperti juga terjadi kali ini, lantaran kebetulan mengikuti Indonesia Community Day yang dihelat Kompasiana dan Tribun Jogja.
Jika dulu saya lebih tertarik merambah pedesaan yang ada di kota istimewa itu, kini justru dibalut penasaran dengan kotanya sendiri. Terutama, ya, Museum Vredeburg itu sendiri. Terlebih hawa sejarah di balik bangunan yang juga dikenal dengan Fort Vredeburg atau Benteng Vredeburg ini, terasa memanggil-manggil untuk masuk ke dalamnya.
Bersama dua rekan, Iskandar Zulkarnaen dan Wily Wijaya, jadilah kami menapaki sudut ke sudut museum sekaligus benteng yang sejatinya berdiri pada 1760 itu. Ada kemiripan dengan Fort Rotterdam yang pernah saya kunjungi di Makassar, tapi hanya dari sisi desain sekeliling benteng.
Tampaknya, benteng Rotterdam memang tertuju untuk menangkal serangan dari arah laut. Sedangkan Vredeburg lebih terkesan untuk melindungi istana sultan—atau justru untuk membatasi pergerakan di dalam istana, wallahu alam.
Jika melihat asal mula sejarahnya, memang keberadaan Fort Vredeburg tak lepas dari berdirinya keraton baru untuk Sri Sultan Hamengkubowono I. Di sisi lain juga ada sumber sejarah yang menyebutkan bahwa benteng lama yang bernama Fort Rustenburg—sebagai cikal bakal Vredeburg—hancur lantaran gempa bumi, sehingga terpilih lokasi tersebut untuk benteng baru yang melibatkan arsitek Frans Haak.
Berada di dalam benteng ini memang akan terasakan hal magis, meski saat saya memasukinya sudah tengah hari. Sudut ke sudut benteng yang kini disulap menjadi museum itu, seolah mengajak kembali ke masa lalu. Didukung lagi lantaran di dalamnya terdapat berbagai diorama yang banyak bercerita tentang kondisi di zaman revolusi.
Di sana terdapat diorama. Beberapa patung pun berada di sana, termasuk di antaranya yang menggambarkan pejuang kemerdekaan yang sedang bersiap menikam serdadu Belanda. Di sudut lain, terdapat pula patung seorang pejuang sedang menggenggam granat, dengan ekspresi bersiap untuk melemparkannya ke arah musuh.
Patung-patung dan diorama yang ada di sana memang bercerita banyak, meski dapat dikatakan tak mewakili situasi seluruhnya yang pernah mewarnai benteng ini.
Seperti jamak diketahui, Benteng Vredeburg, memang memiliki banyak kisah. Sekalipun penamaan Vredeburg sendiri dimaksudkan sebagai “Benteng Kedamaian”. Sementara dalam sejarahnya, di benteng ini juga pernah menjadi tempat penahanan; terutama ketika Jepang mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda, Vredeburg juga menjadi tempat tahanan.
Bahkan serdadu Jepang tak hanya menjadikan benteng ini untuk penjara yang menampung para pejuang yang diklaim sebagai pemberontak. Mereka juga menjadikannya sebagai tahanan, sekaligus menyiksa para pejuang. Tak terkecuali setelah Jepang hengkang pun, militer Indonesia juga pernah menjadikannya sebagai barak tentara.
Tampaknya, harapan yang diwakilkan dalam nama Vredeburg sebagai “Benteng Perdamaian” baru betul-betul terjadi setelah muncul gagasan dari Ki Hajar Dewantara. Dalam beberapa literatur disebutkan jika pengalihfungsian benteng ini menjadi museum, terjadi lantaran ide dari tokoh pendidikan sekaligus penggagas Taman Siswa tersebut.
Ide itu sendiri tercetus pada tahun 1947, namun baru betul-betul terealisasi pada 1980, setelah Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menemukan kata sepakat dengan Sultan Hamengkubuwono IX.
Sekarang, sekeliling benteng ini memang memiliki warna tersendiri selayaknya bangunan yang berdiri di tengah kota. Para pengamen hingga seniman jalanan lainnya mengitari pagar museum. Beberapa bahkan terlihat berjualan di dalam area pagar museum, dan menggelantungkan dagangan di pagar-pagarnya. Sedikit kurang elok dipandang, tapi pemandangan ini tetap mewakili realita masyarakat; bahwa tak ada yang betul-betul sakral ketika sudah bicara urusan mata pencaharian.*
---
Artikel ini juga tayang di situs blog pribadi: www.tularin.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H