Awal Maret ini ada lagi yang jadi sasaran keroyokan meski lewat jejaring sosial. Sasaran kali ini adalah Ernest Prakasa, komedian yang terkenal dengan kritik sosialnya. Sayang sekali, ia menjadi bulan-bulanan justru saat sedang berusaha menunjukkan siapa Zakir Naik, dengan menyorot sambutan Jusuf Kalla atas tokoh asal India tersebut.
Ernest yang memang memiliki karakter terbuka dan terbiasa blak-blakan, membeberkan begitu saja terkait sosok yang diidentikkan sebagai ahli perbandingan agama dari India itu. Berbekal penelusuran media asal Inggris, Daily Mail, lantas Ernest menunjukkan bahwa ada korelasi antara kegiatan Zakir Naik dengan aktivitas ISIS alias Negara Islam Irak-Suriah.
Pamor Daily Mail sendiri terbilang sangat diperhitungkan oleh publik dunia, karena media itu sendiri berasal dari negara yang terkenal dengan budaya intelektual tinggi, dan usia mereka pun sudah melampaui lintas zaman.
Sekali lagi, itu adalah anggapan umum tentang kredibilitas Daily Mail--pernah saya bahas di sini.
Bagaimana pandangan sementara kalangan lainnya? Ini yang layak dicatat bahwa Daily Mail sendiri disangsikan oleh banyak kalangan sebagai media yang netral dan objektif.
Ada dugaan kuat yang bersandar dari berbagai berita yang pernah ditayangkan Daily Mail, bahwa media ini tak sepenuhnya dapat dipercaya.
Ada yang menyebut mereka sebagai media partisan lantaran acap kali menunjukkan keberpihakan kepada kalangan tertentu. Bahkan ada yang menyebut berita yang lahir dari media tersebut jauh dari kaidah-kaidah jurnalisme lazimnya yang mengedepankan objektivitas dan imparsial.
Dalam kasus Ernest, dia sendiri mengakui tidak menelusuri lebih dalam lagi terkait dengan berita Zakir Naik dan hubungannya dengan ISIS.
Kemungkinan, Ernest meyakini bahwa Daily Mail adalah referensi yang dapat dipercaya. Boleh jadi ia merasa, apa perlunya bagi media Inggris membicarakan sosok dari India secara sengaja jika memang sama sekali tak ada urusan dengan hal yang lebih memiliki proximity dengan masyarakat dunia dan Inggris sendiri.
“Centred on the Daily Mail’s reputation for poor fact checking, sensationalism and flat-out fabrication," alasan pihak Wikipedia melarang Daily Mail sebagai referensi bagi siapa pun yang mengisi lama mereka (sumber: http://www.tularin.com/2017/02/sadisnya-wikipedia-posisikan-daily-mail.html).
Atau, Ernest juga merasa terpanggil untuk menunjukkan apa adanya tentang Zakir Naik, karena selama ini Indonesia saja memang sudah sangat direpotkan oleh sementara kalangan yang acap bermain dengan isu-isu agama. Betapa banyak kegaduhan terjadi dan hampir selalu tak lepas dari polemik yang berkaitan dengan sentimen beda agama.
Saya memilih berbaik sangka, bahwa Ernest ingin orang-orang tidak dilarutkan oleh pamor Zakir Naik yang selama ini acap dicitrakan sebagai tokoh Islam dunia. Walaupun pada riilnya di Indonesia memang sangat banyak yang memuja tokoh asal India tersebut.
Sayang sekali, kritik yang disampaikan Ernest justru ditangkap berbeda oleh pengguna jejaring sosial di negeri ini. Pandangan yang menonjol lebih banyak berisi vonis, dan tak sedikit dengan keji menyebut pernyataan Ernest hanyalah ekspresi kebencian non-Islam dan seorang Cina kepada masyarakat Islam.
Kesimpulan-kesimpulan yang dikembangkan oleh sekelompok orang yang rajin memelihara propaganda dan kemarahan umat Muslim itulah yang akhirnya mendapatkan tempat. Itu menjadi senjata mereka dan menjadi pemicu hujatan kencang kini terarah kepada Ernest. Berbagai kalimat tak pantas dan cenderung melecehkan pribadi, etnis, dan agama Ernest pun bermunculan di jejaring sosial.
Dia nyaris seorang diri saja menghadapi berbagai hujatan tersebut. Ia dikeroyok meski lewat jejaring sosial, dan itu dilakukan oleh kita yang rajin mengklaim diri sebagai penganut agama terbaik! Kita tidak malu pada diri sendiri?
Satu sisi fenomena itu tak terlalu mengagetkan, karena mereka yang berpikiran terbuka masih relatif dinilai ganjil oleh sebagian masyarakat. Sedangkan kalangan masyarakat yang eksklusif dalam beragama, biasanya memang menutup diri dari luar kelompok mereka.
Bahkan ada kecenderungan sebagian kelompok agama bahwa membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan "masalah internal" adalah hal yang tabu.
Tapi justru di situ ada yang absurd. Figur seperti Ernest yang bekerja di dunia entertain didesak untuk tidak coba-coba menantang kecenderungan mereka yang acap mengklaim sebagai kalangan yang telah mendapatkan "wahyu" berupa kebenaran mutlak.
Topik diangkat Ernest seputar Zakir Naik dianggap sebagai sinyal bahwa ia menantang mereka. Itu dinilai sebagai sesuatu yang tak dapat ditoleransi, bahkan ada yang berpandangan itu sebagai tindakan yang telah meremehkan kemuliaan Islam.
Padahal jika ingin ditegaskan, apakah mengkritisi seorang Zakir Naik adalah melecehkan Islam? Tentu saja tidak. Toh selama ini, Zakir sendiri getol menyorot "kekurangan" agama lain, namun tak pernah sampai membawanya ke tingkat penistaan pribadi.
Padahal jika ingin mempersoalkan Zakir Naik, mengingat begitu banyak agama dikuliti olehnya, bisa saja dia dituntut oleh seluruh pemeluk agama lain atau bahkan ateis. Apalagi, menurut IslamCity.com pada 2006 lalu, dia pun sampai menantang Paus Benedict XVI untuk berdebat--meski ia memahami bagaimana posisi Sri Paus di tengah umat Nasrani.
Pesan dari dinamika itu, saya memilih untuk mengutip saja renungan pribadi, "Satu propaganda yang sedang dijalankan saat ini: "merawat kemarahan". Seperti halnya api, dalam takaran sedikit maka perlu untuk mematangkan sesuatu. Sedangkan jika api yang sangat besar, tak ada keperluan lain kecuali untuk menghancurkan. Jika masih bisa memilih, pilih saja yang tertakar. Sebab bermain api meski dengan alasan paling suci, tetap saja rentan membakar diri sendiri."
Kasus yang menyeret nama Ernest hingga ia harus meminta maaf kepada Jusuf Kalla--karena ia mengkritisi Wakil Presiden tersebut menyambut Zakir Naik--semestinya tak hanya jadi pembelajaran untuk  Ernest sendiri. Tapi juga umat Muslim untuk lebih menakar-nakar setiap menemukan fenomena yang rentang mengundang kemarahan.
Ada persoalan di tengah kita sendiri selama ini, terlalu sering mendudukkan mereka yang berbeda agama sebagai musuh, dan apa yang mereka lakukan hanya untuk menghancurkan kita. Padahal sudut pandang seperti ini rentang merusak kita sendiri, lantaran sama artinya memelihara hawa permusuhan yang rentan membuat kita justru hancur.
Dalam kasus Ernest, andai kita dapat melihat sikapnya sebagai sebuah kepedulian seorang anak negeri yang ingin menjaga negerinya, agar tidak ditulari kebencian pada perbedaan, mungkin kita lebih bisa mencegah kemarahan menguasai hati dan pikiran.
Sayang sekali, belakangan ini, kita seperti tak berhenti untuk membiarkan kemarahan itu merajai hati, dan berpikir mereka yang berbeda selalu pantas untuk dimarahi dan diancam-ancam. Kembali ke nurani, atas alasan apa pun, apakah kita adil?*
(Catatan: Artikel ini juga tayang di situs pribadi, tularin.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H