Pesan dari dinamika itu, saya memilih untuk mengutip saja renungan pribadi, "Satu propaganda yang sedang dijalankan saat ini: "merawat kemarahan". Seperti halnya api, dalam takaran sedikit maka perlu untuk mematangkan sesuatu. Sedangkan jika api yang sangat besar, tak ada keperluan lain kecuali untuk menghancurkan. Jika masih bisa memilih, pilih saja yang tertakar. Sebab bermain api meski dengan alasan paling suci, tetap saja rentan membakar diri sendiri."
Kasus yang menyeret nama Ernest hingga ia harus meminta maaf kepada Jusuf Kalla--karena ia mengkritisi Wakil Presiden tersebut menyambut Zakir Naik--semestinya tak hanya jadi pembelajaran untuk  Ernest sendiri. Tapi juga umat Muslim untuk lebih menakar-nakar setiap menemukan fenomena yang rentang mengundang kemarahan.
Ada persoalan di tengah kita sendiri selama ini, terlalu sering mendudukkan mereka yang berbeda agama sebagai musuh, dan apa yang mereka lakukan hanya untuk menghancurkan kita. Padahal sudut pandang seperti ini rentang merusak kita sendiri, lantaran sama artinya memelihara hawa permusuhan yang rentan membuat kita justru hancur.
Dalam kasus Ernest, andai kita dapat melihat sikapnya sebagai sebuah kepedulian seorang anak negeri yang ingin menjaga negerinya, agar tidak ditulari kebencian pada perbedaan, mungkin kita lebih bisa mencegah kemarahan menguasai hati dan pikiran.
Sayang sekali, belakangan ini, kita seperti tak berhenti untuk membiarkan kemarahan itu merajai hati, dan berpikir mereka yang berbeda selalu pantas untuk dimarahi dan diancam-ancam. Kembali ke nurani, atas alasan apa pun, apakah kita adil?*
(Catatan: Artikel ini juga tayang di situs pribadi, tularin.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H