Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkepala Dingin atas Kasus Ernest dan Jusuf Kalla

9 Maret 2017   00:45 Diperbarui: 4 April 2017   16:14 3035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ernest hanya mengkritik, namun banyak yang memilih reaktif tanpa melihat kritikannya dengan proporsional - Gbr: Edward Suhadi

Pesan dari dinamika itu, saya memilih untuk mengutip saja renungan pribadi, "Satu propaganda yang sedang dijalankan saat ini: "merawat kemarahan". Seperti halnya api, dalam takaran sedikit maka perlu untuk mematangkan sesuatu. Sedangkan jika api yang sangat besar, tak ada keperluan lain kecuali untuk menghancurkan. Jika masih bisa memilih, pilih saja yang tertakar. Sebab bermain api meski dengan alasan paling suci, tetap saja rentan membakar diri sendiri."

Kasus yang menyeret nama Ernest hingga ia harus meminta maaf kepada Jusuf Kalla--karena ia mengkritisi Wakil Presiden tersebut menyambut Zakir Naik--semestinya tak hanya jadi pembelajaran untuk  Ernest sendiri. Tapi juga umat Muslim untuk lebih menakar-nakar setiap menemukan fenomena yang rentang mengundang kemarahan.

Ada persoalan di tengah kita sendiri selama ini, terlalu sering mendudukkan mereka yang berbeda agama sebagai musuh, dan apa yang mereka lakukan hanya untuk menghancurkan kita. Padahal sudut pandang seperti ini rentang merusak kita sendiri, lantaran sama artinya memelihara hawa permusuhan yang rentan membuat kita justru hancur.

Dalam kasus Ernest, andai kita dapat melihat sikapnya sebagai sebuah kepedulian seorang anak negeri yang ingin menjaga negerinya, agar tidak ditulari kebencian pada perbedaan, mungkin kita lebih bisa mencegah kemarahan menguasai hati dan pikiran.

Sayang sekali, belakangan ini, kita seperti tak berhenti untuk membiarkan kemarahan itu merajai hati, dan berpikir mereka yang berbeda selalu pantas untuk dimarahi dan diancam-ancam. Kembali ke nurani, atas alasan apa pun, apakah kita adil?*

(Catatan: Artikel ini juga tayang di situs pribadi, tularin.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun