Ya. Dia tak kuat menungguku menjadi pria mapan. Dia memilih pria dengan banyak kelebihan; mapan, juga berat badan.
Pria itu memiliki bobot kukira dua tiga kali lipat dari badanku yang cuma lima puluh kilogram, lebih sekian ons.
Bukan, aku bukan sedang menghina berat badannya. Aku sendiri yang terhina, tak cukup nyali mengajaknya baku pukul seperti manusia purba berebut perempuan untuk diperistri. Menang, lalu kawin dengan perasaan bangga.
Sekali lagi, sial.
Sepuluh tahun aku tak bertemu mereka. Aku mengintip-ngintip perempuan yang kurasa-rasa punya kemiripan dengan bintang film biru Jepang di jejaring sosial yang seketika menjadi jejaring sial.
Ya, aku harus menemukan lagi foto dia, yang dulu kupuja-puja punya kemiripan dengan Dian Sastro, di jejaring sial itu. Aku harus mendadak tolol lagi, menatap lama-lama ke tiap garis di wajahnya, dan mengkhayalkan lagi garis-garis mana saja yang pernah kujelajahi.
Di pangkuannya, ada bayi yang kuduga baru berusia dua tahunan. Di sebelahnya, persis di dekapan pria yang punya berat badan jauh di atasku yang jadi suaminya, berdiri dua anak lainnya.
Dalam sepuluh tahun sejak berpisah, mereka telah menikmati kebahagiaan dengan ketiga anak itu. Dengan ketololanku lagi, kuhitung-hitung, kemungkinan dia melahirkan dua atau tiga tahun sekali.
Dalam sepuluh tahun, dia jauh berubah. Kesialanku yang justru belum berubah. Dia di sana mungkin sedang bercumbu dengan suaminya selepas anak-anak tidur. Nyeri membayangkan itu.
Sedangkan aku di sini, membuka layar komputer. Klik... klik... klik! Dan membuka folder yang sangat kuhafal:
JAPAN AV
Di situlah aku tenggelam, menikmati suara-suara khas film biru yang membawaku ke angkasa dan berharap, dari angkasa sana nanti, aku bisa melempar semua kenangan itu ke bumi hingga lebur, hancur bersama dia dan lelaki berbadan tambun itu.
Jadi, aku tetap ke angkasa dulu, bersama film-film biru itu. Bersama status di kartu identitasku masih sama dengan sepuluh tahun lalu; BELUM KAWIN.*