Kata orang, tak ada yang betul-betul dapat hilang, meski seseorang yang pernah mengisi hari-harimu betul-betul tak ada di depanmu. Sial, kenapa itu juga yang kualami. Kenapa hal itu tak jadi teori saja, sekadar kata-kata indah saja.
Sial. Ya, jika kau tak pernah mengalami nasib sial dan ingin tahu kesialan itu seperti apa; saat kau bertemu mantan kekasihmu kau akan tahu itu.
Bukan di jalanan, bukan di resepsi pernikahan ala latar video klip lagu dangdut. Bukan di mana-mana. Cuma di jejaring sosial! Maka kau akan menyebutnya, jejaring sial!Â
Sial itulah yang kualami. Dan, di situlah kupahami, terkadang satu kesialan kerap memanggil kesialan lainnya.
Setelah sial karena Mera si mantan memilih lelaki lain yang bisa lebih cepat memenuhi ekspektasinya, kesialan lain justru para gadis pun seperti enggan mendekatiku, dan kesialan terbaru adalah harus menemukan akun jejaring sial miliknya itu.
Di situlah kesialan dalam bentuk lain datang. Itu adalah kenangan.
Dari bagaimana halus aroma parfum paling digemarinya, hingga halus kulit lehernya yang membuat otakku kerap terhubung ke foto-foto bintang film biru dari Jepang yang sering bikin napasku seketika mendadak kencang. Terkadang, dia sendiri juga meniru bintang-bintang film itu.
Bukan karena setan, tapi aku dan dia sendiri mendadak sepakat menjadi setan.
Saat masih saling dibalut cinta, sama-sama menjadi setan pun tak apa-apa. Setan tak lagi terlihat terkutuk. Setan justru makin indah. Maka itu saat aku dengannya sedang bersama, jadilah sering sama-sama kesetanan.
Setan! Ini yang lebih setan, saat dia dengan ekspresi yang kuduga meniru drama Korea terkutuk itu, justru mengakui sudah mengambil keputusan untuk kawin dengan pria lain.
Dengan kalimat terbata-bata, mata berkaca-kaca, dia bicara, "Aku tak bisa. Aku tak bisa lagi mengikuti sekadar alasan cinta," menjadi kalimat paling sial terekam di otakku sejak aku sadar Tuhan memberiku otak.
Ya. Dia tak kuat menungguku menjadi pria mapan. Dia memilih pria dengan banyak kelebihan; mapan, juga berat badan.
Pria itu memiliki bobot kukira dua tiga kali lipat dari badanku yang cuma lima puluh kilogram, lebih sekian ons.
Bukan, aku bukan sedang menghina berat badannya. Aku sendiri yang terhina, tak cukup nyali mengajaknya baku pukul seperti manusia purba berebut perempuan untuk diperistri. Menang, lalu kawin dengan perasaan bangga.
Sekali lagi, sial.
Sepuluh tahun aku tak bertemu mereka. Aku mengintip-ngintip perempuan yang kurasa-rasa punya kemiripan dengan bintang film biru Jepang di jejaring sosial yang seketika menjadi jejaring sial.
Ya, aku harus menemukan lagi foto dia, yang dulu kupuja-puja punya kemiripan dengan Dian Sastro, di jejaring sial itu. Aku harus mendadak tolol lagi, menatap lama-lama ke tiap garis di wajahnya, dan mengkhayalkan lagi garis-garis mana saja yang pernah kujelajahi.
Di pangkuannya, ada bayi yang kuduga baru berusia dua tahunan. Di sebelahnya, persis di dekapan pria yang punya berat badan jauh di atasku yang jadi suaminya, berdiri dua anak lainnya.
Dalam sepuluh tahun sejak berpisah, mereka telah menikmati kebahagiaan dengan ketiga anak itu. Dengan ketololanku lagi, kuhitung-hitung, kemungkinan dia melahirkan dua atau tiga tahun sekali.
Dalam sepuluh tahun, dia jauh berubah. Kesialanku yang justru belum berubah. Dia di sana mungkin sedang bercumbu dengan suaminya selepas anak-anak tidur. Nyeri membayangkan itu.
Sedangkan aku di sini, membuka layar komputer. Klik... klik... klik! Dan membuka folder yang sangat kuhafal:
JAPAN AV
Di situlah aku tenggelam, menikmati suara-suara khas film biru yang membawaku ke angkasa dan berharap, dari angkasa sana nanti, aku bisa melempar semua kenangan itu ke bumi hingga lebur, hancur bersama dia dan lelaki berbadan tambun itu.
Jadi, aku tetap ke angkasa dulu, bersama film-film biru itu. Bersama status di kartu identitasku masih sama dengan sepuluh tahun lalu; BELUM KAWIN.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H