Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kecil dari Orang Pasar

3 Januari 2017   02:26 Diperbarui: 3 Januari 2017   05:02 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika berbicara tentang pasar rakyat, ingatan saya terbawa ke masa yang melampaui dua dekade lalu. Ya, saat saya sendiri menjadi bagian utuh dari pasar tersebut; bercelana pendek, mengenakan baju terlusuh dari yang saya punya, dan bergelut dengan berbagai karakter orang dewasa. 

Saat itu saya masih remaja yang dapat dikatakan anak-anak, karena masih berusia belasan tahun. Di luar jam sekolah, memilih melupakan istirahat, dan berlari ke pasar yang berada sekitar 300 meter dari rumah.

Di sana saya melakoni apa saja yang bisa saya jalani selayaknya seorang remaja. Berdagang labu, rokok, sayur-sayuran, hingga ikan. Dan, bagaimana bau anyir ikan terasa masih melekat hingga kini, terutama ikan yang selama beberapa hari tak kunjung terjual habis. 

Semua itu saya lakoni cuma karena alasan sederhana saja, merasa lebih keren dibandingkan teman-teman sekolah saya yang meminta uang jajan dari orangtuanya, sementara saya mendapatkan dari keringat sendiri. 

Alasan terlalu polos, mungkin, tapi begitulah adanya. Walaupun, iya, ada juga alasan lain yang acap bikin hidung saya kembang kempis diam-diam, saat di sekolah mendapatkan peringkat teratas, orangtua anak-anak lain seperti iri, "Itu anak, kok bisa jadi juara kelas, padahal sehari-hari dia ada di pasar ikan?"

Maka itu, jika melewati pasar tradisional di mana saja saat saya dewasa, saya acap merasa sedang memasuki masa kecil. Dari aroma ikan, mana yang baru datang dari pengepul, atau sudah beberapa hari tak laku, teraba oleh indra penciuman saya tanpa perlu menyentuhnya. Atau, mana sayur yang memang betul-betul baru, dan mana sayur yang sedang "dipaksa" agar terlihat baru.

Ada yang lebih penting lagi, wajah-wajah dari para pedagang kecil yang notabene memadati pasar-pasar itu. Seberapa banyak dagangan mereka laku hari itu, tak perlu ditanyakan lagi. Cukup dengan menyimak garis wajah mereka. Setenang apa pun karakter mereka, jika dagangannya laku keras pastilah binar ceria itu akan terlihat dari matanya meski wajahnya terlihat berusaha menyembunyikan kebahagiaannya. 

Sementara lainnya, terkadang terpaksa membagi-bagikan sayuran yang sudah dua hari tak kunjung habis. Atau, bagi yang menjajakan makanan, yang juga ada di pasar-pasar itu, membagikan begitu saja kepada anak-anak tetangga sepulang mereka dari pasar. 

Alasan mereka, "Daripada basi mubazir, lebih baik dimakan," dan ada juga alasan lain, kali saja dengan membagi ini besok dagangannya lebih laris. Dan, saya lagi-lagi termasuk di antara yang turut mencicipi kue-kue atau penganan apa saja yang memang sedang tidak laku, milik tetangga lapak saya. 

Satu hal lagi yang saya simak masih melekat erat dengan orang-orang pasar itu, bahwa sebagian besar di antara mereka memang hanya bermodalkan tulis baca, ada yang bahkan sama sekali tak bisa tulis baca, namun hafal angka. 

Mereka tidak mengandalkan pengetahuan selayaknya sarjana. Jadi, kecerdasan mereka dalam kegiatan jual beli itu hanya diasah oleh pengalaman. 

Jangan ajak mereka melihat dunia pasar dari kacamata Adam Smith, atau siapa saja yang konon disebut pakar ekonomi dan sejenisnya. Mereka hanya melihat pasar dari pengalaman mereka sendiri; dari rugi, laba yang tipis dan tidak sepadan dengan waktu seharian mereka habiskan, hingga keterpaksaan mereka berutang pada tengkulak. 

Lebih dua puluh tahun lalu saya menyimak itu, dan saat kini sesekali menyambangi pasar di dekat rumah, lagi-lagi mendapati kejadian tak jauh mereka. Terkadang, saat nasib baik terlihat tak ramah kepada mereka, para tengkulak pun hanya ramah saat menawarkan pinjaman dengan bunga berkali lipat, menjadi dua ketidakramahan yang sangat menyiksa bagi mereka, tentunya. 

Acap kali, meski nasib baik tak selalu berbaik-baik dengan mereka, mereka memilih tetap bertahan. Menariknya, dari pasar-pasar itu juga mereka masih mampu menyekolahkan anaknya, dan tak sedikit menjadi sarjana hingga pejabat. 

Miniatur pasar di acara Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya Jakarta - Gbr: Zulfikar Akbar
Miniatur pasar di acara Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya Jakarta - Gbr: Zulfikar Akbar
Yah Tapa, panggilan yang dinisbatkan dari "Ayahnya si Mustafa", menjadi salah satu figur paling membekas di memori saya, dari pengalaman masa kecil di Jeuram, salah satu kampung di Pantai Barat Aceh.

Sosok Yah Tapa itu memilih tetap menggantungkan hidupnya di pasar sejak dia masih belum menikah hingga cucunya pun beranak. Istimewanya, anak-anak hingga cucunya itu seperti terwariskan untuk memahami dunia pasar, jual beli, dan jatuh cinta pada pasar. Ada beberapa dari keturunannya yang bahkan menjadi pegawai negeri pun, namun kegemaran pada dunia dagang itu tak lekang. 

Mereka tidak menguasai teori. Yah Tapa pun tak memahami istilah-istilah bergengsi di dunia pasar moderen. Yang dia pahami, memanfaatkan waktu sehari-hari mencari nafkah, makan sebagian kecil dari laba, dan berkonsentrasi membesarkan anak-anaknya. 

Apa yang kemudian terjadi, meski berkali-kali dia hampir gulung tikar, entah karena kehabisan modal, atau dagangan yang terkadang rugi, dia mampu bertahan lebih dari 50 tahun. Kecintaannya menghabiskan waktu di pasar, betul-betul melekat kuat di benak saya. Dia mengarahkan untuk menyekolahkan anak pertama setinggi-tingginya, karena anak kedua enggan bersekolah. 

Dia tak memaksa anak keduanya harus menyamai anak kedua, lantaran menurut dia, "Menyoe hana di hatee, sapue kon," (bahasa Aceh dengan terjemahan bebasnya; jika seseorang melakukan sesuatu bukan karena panggilan hati, tak ada gunanya--memaksakan).

Maka itu saat dua pekan lalu Kompasiana mengadakan Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya Jakarta, saya dengan antusias memboyong anak dan istri saya sendiri ke sana. Meskipun saya sama sekali tidak bercerita, bahwa saya sendiri pernah jadi bagian dunia jual beli yang identik dengan masyarakat biasa. Juga belum pernah saya ceritakan, saya merasakan langsung dalam keseharian, bagaimana pasar itu menjadi sesuatu yang betul-betul mampu memberikan sesuatu yang takkan mudah ditemukan di pasar moderen.

Mencegat Garin Nugroho di acara Festival Pasar Rakyat - Gbr: Zulfikar Akbar
Mencegat Garin Nugroho di acara Festival Pasar Rakyat - Gbr: Zulfikar Akbar
"Di pasar rakyat, antara para pedagang dengan pembeli bisa saling mengenal dan menyapa dengan menyebut nama. Di sana terbangun keakraban, dan ini yang takkan dapat ditemukan di pasar moderen," Garin Nugroho yang mengisi acara Festival Pasar Rakyat saat itu, berkisah, sekaligus melemparkan saya ke memori masa kecil itu.

Ya, apa yang dikatakan Garin memang tidak meleset. Seperti cerita Yah Tapa tadi. Dia tak hanya menjadi tetangga lapak, di mana saya yang berjualan ikan berada tak jauh dari tempatnya berdagang bumbu-bumbu masak hingga sayur-sayuran. Juga masih menjadi tetangga lapak saya, saat saya turut berjualan sayuran.

Di sela-sela menunggu pembeli, yang acap kami obrolkan memang soal harga-harga; dari satu barang yang naik tinggi hingga setinggi-tingginya, dan lain turun hingga serendah-rendahnya. Biasanya itu hanya menjadi pembuka cerita, selebihnya kami yang sama-sama penjual akan bercerita apa saja seputar keseharian. 

Dia bercerita tentang perjalanannya sebagai seorang ayah hingga menjadi kakek, sedang saya menceritakan kebanggaan saya menyalip teman-teman sekolah yang semestinya memiliki lebih banyak waktu bergelut dengan buku dan belajar bersama. Ya, menyalip mereka dengan isi kocek saya yang lebih berisi dari teman-teman lain, dan isi rapor yang bikin kepala saya membesar seketika.

Di sana, pasar rakyat itu, dari rekaman masa kecil saya hingga saat ini memang masih menunjukkan ciri khasnya itu. Di sana dapat ditemukan dengan mudah karakter sekaligus budaya, satu sama lain dengan mudah bersahabat, saling menyapa, dan bercerita. Yang berpengalaman akan berbagi dengan pengalaman, termasuk dengan anak-anak seperti saya waktu itu, tanpa harus membayar dengan apa pun, cukup dengan kesediaan mendengar dan menjalankan.

Bahkan, salah satu dari pedagang di pasar rakyat itu--kami acap menyebutnya Pasar Los--menjadi guru mengaji saya. Siang hari, beliau menghabiskan waktu di pasar dengan berjualan berbagai kebutuhan sehari-hari, sedangkan malam hari dimanfaatkan untuk berbagi ilmu dengan anak-anak di sekitar rumahnya. Bersamanya, di pasar menjadi layaknya teman meski berbeda usia teramat jauh, namun sekembali ke rumah bisa menjadi murid dengan guru.

Jadi, cerita pasar rakyat memang cerita tentang begitu banyak warna yang dapat mewakili realita rakyat. Juga, di sanalah dapat ditemukan wajah asli Indonesia. Maka kenapa, ketika ide tentang Hari Pasar Rakyat Nasional mencuat, saya sebagai orang yang pernah hidup di pasar itu merasakannya sebagai ide untuk menghargai wajah asli negeri ini.* 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun