Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kecil dari Orang Pasar

3 Januari 2017   02:26 Diperbarui: 3 Januari 2017   05:02 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, apa yang dikatakan Garin memang tidak meleset. Seperti cerita Yah Tapa tadi. Dia tak hanya menjadi tetangga lapak, di mana saya yang berjualan ikan berada tak jauh dari tempatnya berdagang bumbu-bumbu masak hingga sayur-sayuran. Juga masih menjadi tetangga lapak saya, saat saya turut berjualan sayuran.

Di sela-sela menunggu pembeli, yang acap kami obrolkan memang soal harga-harga; dari satu barang yang naik tinggi hingga setinggi-tingginya, dan lain turun hingga serendah-rendahnya. Biasanya itu hanya menjadi pembuka cerita, selebihnya kami yang sama-sama penjual akan bercerita apa saja seputar keseharian. 

Dia bercerita tentang perjalanannya sebagai seorang ayah hingga menjadi kakek, sedang saya menceritakan kebanggaan saya menyalip teman-teman sekolah yang semestinya memiliki lebih banyak waktu bergelut dengan buku dan belajar bersama. Ya, menyalip mereka dengan isi kocek saya yang lebih berisi dari teman-teman lain, dan isi rapor yang bikin kepala saya membesar seketika.

Di sana, pasar rakyat itu, dari rekaman masa kecil saya hingga saat ini memang masih menunjukkan ciri khasnya itu. Di sana dapat ditemukan dengan mudah karakter sekaligus budaya, satu sama lain dengan mudah bersahabat, saling menyapa, dan bercerita. Yang berpengalaman akan berbagi dengan pengalaman, termasuk dengan anak-anak seperti saya waktu itu, tanpa harus membayar dengan apa pun, cukup dengan kesediaan mendengar dan menjalankan.

Bahkan, salah satu dari pedagang di pasar rakyat itu--kami acap menyebutnya Pasar Los--menjadi guru mengaji saya. Siang hari, beliau menghabiskan waktu di pasar dengan berjualan berbagai kebutuhan sehari-hari, sedangkan malam hari dimanfaatkan untuk berbagi ilmu dengan anak-anak di sekitar rumahnya. Bersamanya, di pasar menjadi layaknya teman meski berbeda usia teramat jauh, namun sekembali ke rumah bisa menjadi murid dengan guru.

Jadi, cerita pasar rakyat memang cerita tentang begitu banyak warna yang dapat mewakili realita rakyat. Juga, di sanalah dapat ditemukan wajah asli Indonesia. Maka kenapa, ketika ide tentang Hari Pasar Rakyat Nasional mencuat, saya sebagai orang yang pernah hidup di pasar itu merasakannya sebagai ide untuk menghargai wajah asli negeri ini.* 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun