Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengintip Keindahan Papua dari Dunia Sinema

30 Desember 2016   01:52 Diperbarui: 30 Desember 2016   02:08 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali melihat tayangan televisi yang bercerita tentang Papua, ada kekaguman pada Bumi Cenderawasih tersebut. Selebihnya, masygul. Ya, perasaan masygul itu karena porsi ekspose media yang memang masih sangat kental Jakarta, dan sedikit sekali membicarakan potensi di ujung-ujung Indonesia, terutama mengangkat sisi wisata.

Soal bagaimana TV "bekerja" sejatinya memang bukan hal yang mesti dipersoalkan. Pertama karena semua TV dengan daya jangkau nasional memang berbasis di Jakarta, kedua karena dari kacamata bisnis ada kesan di sinilah mereka dapat menangguk keuntungan lebih menjanjikan daripada, misalnya, mereka "bermarkas" di Papua sendiri.

Lagipula, bukan tak mungkin jika TV nasional bermarkas di Papua pun, mungkin mereka tetap saja lebih banyak memakai kacamata Jakarta. Jadi di sini agak sulit berharap TV dapat "lebih ramah" terhadap daerah seperti Papua, termasuk belahan Indonesia lainnya.

Kenapa televisi? Sementara yang ingin kita bincangkan adalah perihal wisata. Tak lain karena jamak di Indonesia, di belahan mana saja, kedekatan dengan TV lebih tinggi daripada media lainnya, semisal koran atau bahkan buku. Saya sendiri, hanya mendapatkan buku-buku seputar Papua jika bersua dengan beberapa sahabat yang memang berasal dari sana. Berharap mendapatkan buku-buku itu di Jakarta atau Bandung--dua kota paling akrab dengan saya--nyaris mustahil.

Tapi itu juga masih dapat dipertanyakan lagi apakah iya TV lebih dapat membawa dampak dan pengaruh sehingga wisata Papua dapat lebih diketahui publik, menjadi magnet untuk menyeret mereka melihat seperti apa lokasi wisata yang ada di sana? Juga, apakah hanya dengan melihat TV dengan durasi sesering mungkin akan membuat magnet wisata Papua menanjak tajam?

Tidak mutlak seperti itu, tapi setidaknya TV masih menjadi salah satu yang paling berpengaruh kepada publik di Indonesia yang konon lebih menggemari tontonan daripada sekadar bacaan. Walaupun, keniscayaan bahwa referensi berupa bacaan tetap tak dapat diremehkan, jika mengingat lagi bahwa sebagian besar wisatawan adalah mereka yang melek baca dan sering kali adalah kalangan menengah ke atas yang memiliki budaya intelektual cukup baik.

Jadi, pantas diapresiasi juga apa yang dilakukan beberapa sineas dalam mengenalkan Papua. Meski sebagian terlalu kental fiksi alih-alih menonjolkan realita di sana, paling tidak ada bau tanah Papua yang mampu membuat angan terbetik ingin untuk menyambangi tanah negeri tersebut.

Sebut saja film Epen Cupen yang rilis pada 2015. Ini menjadi salah satu film paling memukau saya sepanjang mengikuti perkembangan Papua lewat dunia layar lebar tersebut.

Sekilas film itu memang kental aroma tawa, karena menyajikan humor khas Papua. Terlebih sosok yang dihadirkan pun memang rata-rata berlatar belakang komedian.  Tapi di sini juga kita dibuat lebih mengenal bahwa di Papua terdapat apa yang diistilahkan dengan Mop Papua. Mampu mendobrak anggapan bahwa masyarakat di sana tertinggal, kurang bisa diajak bercanda dan tertawa. Ringkasnya, film itu menunjukkan bahwa masyarakat di sana memang baik-baik dan humble.

Dari kacamata pariwisata, bagaimana budaya masyarakat dan kebiasaan mereka, patut diingat memang menjadi bagian pertimbangan banyak orang; gue akan ke sana atau tidak. Dan, di sini, dapat dipastikan Papua tak menemui masalah. Setidaknya, sisi keramahan dan kehangatan masyarakat Papua tercermin di film yang rilis 2015 itu.

Marissa Nasution yang tak lain adalah salah satu pemeran di film ini pun mengakui jika dirinya pun menjadi penasaran dengan Papua justru dari film dibintanginya tersebut. "(Sebab di film ini) sedikit menceritakan latar belakang Papua itu seperti apa. Aku saja masih berharap bisa ikut ke Papua dan syuting di sana," ucapnya, menjelang film tersebut rilis 2015 lalu.

Apa yang diungkapkan Marissa itu, sedikitnya memang mewakili efek sebuah film pada bagaimana pengaruhnya kepada publik. Sederhananya, pemeran filmnya saja bisa dibuat jatuh hati atas daerah itu, apalagi yang menyaksikan film tersebut.

Film Epen Cupen memang bukan film pertama yang berkisah tentang Papua. Paling tidak mereka berusaha mengenalkan keindahan alam provinsi itu dengan cara yang cukup mampu mengundang rasa penasaran, entah dari beberapa aksi--terlepas lebih banyak bersetting Jakarta--yang benar-benar menunjukkan kota-kota di Papua dan laut dengan gunungnya.

Hampir 10 tahun lalu, kehadiran film Denias: Senandung di Atas Awan yang digarap John de Rantau terbilang sebagai salah satu film dengan setting Papua paling berpengaruh . 

Bahkan cerita film yang kental sisi kemanusiaan, tak melupakan keindahan alam Papua yang turut dihadirkan. Lebih-lebih lagi saat mereka dikabarkan masuk dalam seleksi Piala Oscar, dua tahun kemudian. Tentu itu tak hanya menjadi gengsi bagi Papua tapi juga Indonesia secara keseluruhan.

Film itu sendiri memang disebut-sebut mengambil tempat lebih banyak di seputar area PT Freeport Indonesia. Namun masih mampu menunjukkan wajah asli provinsi itu dengan berbagai ciri khasnya. 

Cenderawasih mewakili keindahan alam Papua - Gbr: Harian Papua
Cenderawasih mewakili keindahan alam Papua - Gbr: Harian Papua
Terlebih lagi ketika menyorot kampung yang menjadi tempat tinggal Denias, tokoh di film ini, yang memang berada di kawasan pegunungan Wamena. Jadi, orang-orang yang tak pernah menjejakkan kaki ke tanah Papua pun terbetot rasa penasaran, karena di sana secara gamblang ditampilkan tak terkecuali rumah-rumah khas penduduk setempat. Seperti apa kebiasaan mereka sehari-hari, tak terkecuali dalam cara mereka berinteraksi, tersaji di sini.

Apa adanya. Tak terkesan dilebih-lebihnya, membuat film-film itu terasa istimewa, dan mampu memenuhi sebagian rasa penasaran, seperti apakah wajah Papua dan keindahan mereka. Jujur saja, sebagai bagian masyarakat yang tak pernah ke sana, media-media seperti film terasa lebih meyakinkan dalam menggambarkan Papua. Ada sesekali provinsi itu muncul di pemberitaan televisi, tapi acap kali hanya menonjolkan konflik dan masalah, yang saya kira justru berdampak buruk pada mereka.

Saya dapat mengatakan sedikit sekali liputan yang berhubungan dengan provinsi yang dulu bernama Irian Jaya tersebut. Terutama yang betul-betul seimbang menonjolkan kelebihan mereka alih-alih hanya konflik dan hal-hal negatif. 

Maka itu saya juga turut mensyukuri saat Irham Acho Bahtiar, juga sutradara Epen Cupen, mengangkat film bertajuk Lost in Papua pada 2011.  Tak tanggung-tanggung, sineas tersebut bersama produser Naynie Ardiansyah dan Iwan Trilaksana, melibatkan sederet aktor papan atas seperti Piet Pagau, mendiang Didi Petet, Fauzy Baadillah, hingga Fanny Fabriana, berikut Edo Borne dan Petrus Taro Gerze.

Terlepas film disebut terakhir sempat menuai sorotan para pengamat perfilman karena kelemahan yang cenderung ke sisi teknis, setidaknya mereka unggul dalam menampilkan berbagai sisi asli Papua, sehingga membuat masyarakat luar terasa lebih akrab dengan provinsi itu. Mungkin penonjolan sisi ini tak lepas juga dari keberadaan Acho sebagai sutradara yang terkenal sangat mencintai Papua. Ada unsur-unsur lokal yang masih dapat terlihat di film ini, termasuk pergelaran adat masyarakat setempat.

Ari Sihasale, salah satu sineas getol mengangkat Papua - Gbr: Screenshoot YouTube
Ari Sihasale, salah satu sineas getol mengangkat Papua - Gbr: Screenshoot YouTube
Lebih-lebih setelah itu, dalam waktu berdekatan, sosok yang juga menjadi produser film Denias, Ari Sihasale, belakangan turut mengangkat lagi film yang kembali mengambil lokasi di Papua; Di Timur Matahari. Bahkan dia sendiri turun tangan sebagai sutradara. Ringgo Agus Rahman, Lukman Sardi, hingga Laura Basuki tercatat sebagai bagian pemeran di film ini, cukup membantu melejitkan reputasi film tersebut di mata masyarakat luar Papua. Selain, keaslian Papua terwakili lewat figur Michael Jakarimilena terlepas sejatinya dia berlatar belakang penyanyi--jebolan Indonesian Idol.

Ada beberapa film lainnya, namun sejauh ini lebih berangkat dari sisi feel yang ada di sana. Maka itu andai saja para sineas lebih tergerak lagi untuk berinisiatif seperti ditunjukkan Ari Sihasale dan Acho.

Pasalnya masih ada banyak tempat yang sejatinya dapat dipamerkan lewat film-film itu sehingga lebih menyita perhatian publik, domestik dan mancanegara. Lebih-lebih jika dieksplore lebih jauh seputar Puncak Jaya Wijaya yang memiliki gletser alias salju kekal--meski ini berat. Atau, menjadikan satu kampung bernama Sawinggrai yang berada di Raja Ampat, yang memiliki keistimewaan karena burung cenderawasih yang menjadi ikon Papua, justru hidup di alam bebas di desa tersebut.

Belum lagi dengan Danau Sentani, yang bikin saya sempat mengkhayalkan jika ada film cinta "dahsyat" dibuat di sini. Juga Danau Paniai, terbilang sangat menjanjikan, untuk membuat sebuah film terasa "lebih Indonesia", dan bagi wisatawan dapat merasakan keaslian negeri ini di sini.

Saya termasuk belum cukup beruntung, karena belum pernah ke sana. Kecuali saat beberapa teman yang memang berasal dari sana, kembali ke Jakarta, bersua di berbagai tempat untuk sekadar menanyakan perkembangan di sana. Maka itu, sejauh ini baru bisa menikmatinya lewat film-film, mainstream atau sekadar film-film dokumenter. Terlebih jika mendengar atau melihat foto-foto teman yang pulang dari Raja Ampat, cukup mampu membuat saya merasa jatuh cinta. Ya, sebuah perasaan cinta yang pasti dirasakan oleh siapa saja yang mau menggali seperti apa tempat indah di tanah Papua sana.*

FACEBOOK:  https://www.facebook.com/zoelf.achbar

TWITTER: https://twitter.com/zoelfick

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun